JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang pengetatan remisi untuk napi kasus korupsi, narkoba dan terorisme itu dianggap tak adil oleh narapidana. Terutama oleh narapidana di Lapas Klas I Tanjung Gusta berlaku rusuh dan meminta aturan itu dicabut.
"Saya menganggap tuntutan itu tidak hanya mewakili warga binaan di Tanjung Gusta, tapi di seluruh pelosok tanah air," kata Amir di Jakarta Pusat, Sabtu, (13/7).
Meski mendengar keluhan itu, Amir menyatakan pihaknya berharap para napi memahami bahwa aturan itu dikeluarkan pemerintah bukan tanpa alasan. Ia menyebut PP 99 lahir karena kekecewaan masyarakat terhadap hukuman untuk terdakwa tiga kasus itu.
"Saat itu ada kemarahan publik yang tinggi, kekecewaan publik atas hukuman yang dijatuhi pada pelaku tindak pidana yang bersifat extraordinary khususnya koruptor dan bandar narkoba. Itulah mengapa ada PP 99," paparnya.
Selama menjabat sebagai menteri, kata Amir, memang ada perubahan memperlakukaan terdakwa tiga tindak kejahatan itu dalam hal remisi. Itu dianggap menjawab rasa keadilan pada masyarakat. Dalam hal ini, Amir tidak menjabarkan apakah ada pertimbangaan khusus pemerintah pada PP itu setelah menuai gejolak di kalangan napi.
Ia hanya memastikan kemungkinan akan ada evaluasi ke depan terkait PP itu. Meski tak jelas, kapan ada evaluasi tersebut dilakukan.
"Di suatu saat mungkin, manakala aspirasi atau rasa keadilan masyarakat sudah terpenuhi dengan hukuman yang layak terhadap pelaku korupsi tentunya bisa saja PP 99 ini kami evaluasi," ungkapnya.
Menurut Amir, tidak ada alasan juga untuk menghukum orang dua kali. Apalagi jika hukuman yang diperoleh sebelumnya dari pengadilan sudah cukup berat. Terutama untuk kasus korupsi.
"Apalagi ditambah kesadaran terdakwa untuk kasus korupsi mengembalikan uang hasil korupsi membayar uang pengganti dan membayar denda. Biasanya bagian putusan itu juga akan dipertimbangkan apalagi kalau dia kemudian dia melakukan peranan sebagai justice collaborator," terangnya. (flo/jpnn).
"Saya menganggap tuntutan itu tidak hanya mewakili warga binaan di Tanjung Gusta, tapi di seluruh pelosok tanah air," kata Amir di Jakarta Pusat, Sabtu, (13/7).
Meski mendengar keluhan itu, Amir menyatakan pihaknya berharap para napi memahami bahwa aturan itu dikeluarkan pemerintah bukan tanpa alasan. Ia menyebut PP 99 lahir karena kekecewaan masyarakat terhadap hukuman untuk terdakwa tiga kasus itu.
"Saat itu ada kemarahan publik yang tinggi, kekecewaan publik atas hukuman yang dijatuhi pada pelaku tindak pidana yang bersifat extraordinary khususnya koruptor dan bandar narkoba. Itulah mengapa ada PP 99," paparnya.
Selama menjabat sebagai menteri, kata Amir, memang ada perubahan memperlakukaan terdakwa tiga tindak kejahatan itu dalam hal remisi. Itu dianggap menjawab rasa keadilan pada masyarakat. Dalam hal ini, Amir tidak menjabarkan apakah ada pertimbangaan khusus pemerintah pada PP itu setelah menuai gejolak di kalangan napi.
Ia hanya memastikan kemungkinan akan ada evaluasi ke depan terkait PP itu. Meski tak jelas, kapan ada evaluasi tersebut dilakukan.
"Di suatu saat mungkin, manakala aspirasi atau rasa keadilan masyarakat sudah terpenuhi dengan hukuman yang layak terhadap pelaku korupsi tentunya bisa saja PP 99 ini kami evaluasi," ungkapnya.
Menurut Amir, tidak ada alasan juga untuk menghukum orang dua kali. Apalagi jika hukuman yang diperoleh sebelumnya dari pengadilan sudah cukup berat. Terutama untuk kasus korupsi.
"Apalagi ditambah kesadaran terdakwa untuk kasus korupsi mengembalikan uang hasil korupsi membayar uang pengganti dan membayar denda. Biasanya bagian putusan itu juga akan dipertimbangkan apalagi kalau dia kemudian dia melakukan peranan sebagai justice collaborator," terangnya. (flo/jpnn).
BACA ARTIKEL LAINNYA... Birokrasi Korup, Mahfud Sentil SBY
Redaktur : Tim Redaksi