jpnn.com - SUTOPO Purwo Nugroho. Setiap kali ada bencana, nama Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu sering muncul di setiap pemberitaan media massa nasional dan daerah.
Sampai-sampai dia dijuluki "si pembawa kabar bencana" oleh sejumlah jurnalis media massa. Hingga jelang tutup usia, Sutopo masih rajin mengabarkan informasi seputar bencana pada awak media massa. Sakit kanker paru - paru stadium 4 yang dideritanya tidak menghalangi langkahnya.
BACA JUGA: Indonesia Berduka : Pak Sutopo BNPB Meninggal Dunia
Kini Pak Sutopo, sapaan akrabnya telah meninggal dunia. Namun, nama dan kerja kerasnya akan terus dikenang.
Tahun 2013 lalu, JPNN pernah secara khusus mewawancarai Sutopo dan kehidupannya sebagai pembawa kabar bencana. Banyak hal yang terjadi dalam hidupnya saat memulai karier di BNPB.
BACA JUGA: Pamit Berobat, Pak Sutopo Mohon Maaf Tak Bisa Sampaikan Info Bencana dengan Cepat
BACA JUGA : Akhirnya, Kepala Humas BNPB Sutopo Bertemu Raisa
Menjadi seorang yang berkecimpung dengan bidang humas sebenarnya bukan impian dari pria kelahiran Boyolali, 7 Oktober 1969 itu. Dia justru bercita-cita ingin jadi guru dan dosen. Namun, hatinya terketuk untuk berkecimpung ke masalah bencana.
BACA JUGA: Puluhan Gurandil Tertimbun Longsor di Bogor, Ada yang Meninggal, tapi Sulit Dikenal
Doktor (S3) Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB Bogor itu bahkan mulai belajar menulis berita sendiri layaknya seorang jurnalis agar bisa berbagi informasi pada masyarakat melalui media massa.
Saat ditemui JPNN di ruang kerjanya lantai 4 Gedung BNPB, Jakarta Pusat, 2013 lalu, Sutopo tampak masih sibuk mengecek BlackBerrynya yang terus berdering menerima pesan dari wartawan dengan beragam pertanyaan. Di ruangan ukuran sedang yang berisi 3 tiga rak buku tinggi itu lah Sutopo mengetik berita tentang bencana. Banyak buku yang dia baca.
BACA JUGA : Sutopo Purwo tetap Bikin Rilis sebelum ke Ruang Operasi
Salah satunya buku tentang komunikasi dan media massa. Di meja kerjanya ada beberapa tumpukan koran nasional dan tumpukan tinggi map berisi laporan bencana alam dari berbagai daerah.
Panggilan jiwa untuk berbagi kabar bencana ini pula yang membuat Sutopo harus mengambil keputusan besar dalam karirnya. Dengan latar keilmuannya di bidang geografi fisik, hidrologi, dan pengelolaan lingkungan Sutopo memilih tetap mengembangkan karir kehumasannya dan melepas gelar profesor yang sudah siap diraihnya.
Jika bersedia meninggalkan BNPB, maka mahasiswa teladan dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini akan mendapatkan gelar profesor tersebut. Tetapi, itu tidak Sutopo lakukan. Dia masih menikmati menulis kabar bencana, dan memilih meninggalkan kesempatan meraih gelar tersebut. Dia berat meninggalkan BNPB.
Berikut petikan wawancara wartawan JPNN Natalia Laurens dengan Sutopo di ruang kerjanya, lantai 4 Gedung BNPB Jalan Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta, pada Rabu, Desember 2013 lalu :
Sejak kapan Anda menjabat sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB?
Saya masuk jadi Kepala Pusat Data dan informasi BNPB itu Desember 2010. Awalnya saya peneliti di BPPT. Kemudian sekitar Agustus 2010 diperbantukan di BNPB. Waktu itu saya menjabat direktur pengurangan resiko bencana BNPB. Saya tangani prabencana. Waktu itu bencana Wasior. Saya sampaikan kepada Kepala BNPB. Sebenarnya di BPPT saya sudah banyak bergaul dengan wartawan, karena waktu Bencana Situ Gintung, saya sendirian ngomong karena saya punya data sendiri. Nah waktu mau pindah ke sini saya dikasih tahu nanti kamu di BNPB enggak bisa ngomong bebas ke wartawan karena kamu kan peneliti. Di sana birokrat. Akhirnya saya juga mengurangi dekat dengan wartawan saat itu. Wasior saya punya data, saya enggak kasih statement apa-apa. Kemudian terjadi tsunami Mentawai. Selang sehari Merapi meletus. 25-26 Oktober 2010. Waktu di Mentawai saya memberikan statement karena yang punya data semua saya, ya kasih semua ke wartawan. Saya kan biasa bawa laptop, kalian belum tentu punya fotonya semua. Saya kasih. Kemudian waktu bencana Merapi besar. Di sini kosong jabatan waktu itu. Akhirnya saya dilantik. Saya bilang pak saya kan enggak punya background tentang kehumasan. Kemudian Pak Syamsul Kepala BNPB yang pernah jadi Kapuspen TNI di zaman reformasi, dia memberi tahu 'udahlah Topo kamu kan doktor, kamu bisa menjelaskan pada masyarakat dengan lebih ilmiah, komprehensif sehingga masyarakat menjadi tenang. Nah akhirnya saya jadi banyak tampil. Kata orang saya memberitahukan soal data-data itu sehingga masyarakat jadi tenang. Itu kata orang lho, saat itu saya masih dua jabatan. Akhirnya saya dilantik.
Bagaimana cara Anda mengembangkan diri di jabatan baru itu, sebelumnya kan tidak ada pengalaman?
Saya mencari cara bagaimana supaya saya bisa sampaikan informasi pada masyarakat melalui media massa. Bagaimanapun wartawan adalah mitra saya. Mereka sangat efektif sekali karena dalam kejadian-kejadian bencana mereka kadang lebih cepat dibanding saya. Waktu itu di akhir 2010 itu, saya baru pakai blackberry. Waktu itu cuma 100 lah teman-teman di BlackBerry Messengernya. Masih nyampur, bukan cuma wartawan. Terus semua informasi saya kirim satu-satu informasinya. Ngirim satu-satu capek. Sama anak saya dibilang, ngirimnya jangan gitu, 'dibroadcast' aja. Lalu diajari anak saya. Oh ternyata bagus sekali. Setelah itu saya lakukan, wartawan langsung pada BBM bilang terimakasih. Lalu media onlinenya jadi banyak menulis.
Saya pikir-pikir ini harus saya manfaatkan BlackBerry, meski saya punya twitter, facebook, youtube, milis email 1000 lebih wartawannya. Tapi paling efektif BBM ini, karena bunyi sedikit langsung dibaca. Akhirnya saya beli dua handphone untuk menghandle kerja saya.
Berarti harus memiliki banyak smartphone untuk pekerjaan ini, kan Indonesia rawan bencana?
Wah saya sudah punya BlackBerry lebih dari 10 gonta-ganti. BlackBerry saya kan sering rusak karena terlalu banyak juga penggunaannya. Saya ngetik berita juga di BB, sama seperti wartawan online. Saya sampai punya powerbank dua, ngecharge terus batereinya. Kemana-mana selalu bawa kabel. Kayak wartawan juga jadinya. Sampai ada wartawan bilang 'Pak Topo itu kan narasumber, kok malah lebih pontang-panting kerja lebih keras dibanding saya'. Lah ya memang begitu karena saya juga mencari data.
Sulitkah bekerja hampir serupa dengan wartawan?
Sebenarnya saya bisa juga jadi wartawan. Wong sama-sama ngetik berita juga. Contoh kalau Presiden jumpa pers soal bencana, saya juga ikut ngetik di BB. Presiden selesai ngomong, saya juga udah selesai, langsung buat berita dan dikirim. Padahal ada wartawan juga di situ. Begitu saya kirim Broadcast Message, saya lihat wartawan di sekitar saya langsung pada buka BBnya. Pada kaget, lah Pak Topo kok sudah jadi beritanya'. Efektif memang. Makanya saya punya dua handphone. Satu untuk wartawan, satu untuk umum dari BPBD, tentara polisi. Ini penting untuk kecepatan informasi. BB saya itu pernah kontaknya lebih dari 1800 orang. Itu sampai 'ngehang' rusak karena banyak yang tanya soal bencana. Ganti lagi. Saya itu paling stres kalau sampai kehilangan kontak pin BB wartawan. Karena ngumpulin, nyarinya juga susah. Sekarang 1304 kontak BBM saya yang wartawan. Dulu waktu BB saya rusak, sedih saya, banyak kontak BBM yang hilang. Teman wartawan saya dalam dan luar negeri. Washington Post, CNN, Aljazerra. Mereka selalu komunikasi juga, konfirmasi bencana.
Saya ajarkan ke teman-teman humas yang lain, pakai teknologi ini. Efektif sekali. Tapi sulit, jarang mereka. Enggak semua mau capek, karena harus siap semua. Klien saya kan wartawan semua. Kalau ada kejadian enggak saya segera broadcastkan wartawan pasti tanya terus. Capek kalau layani satu-satu. Broadcast terus data-datanya biar semua dapat saja.
Bagaimana cara Anda bisa menulis berita?
Saya itu kalau ada bencana, kalau kecepatannya kadang saya dapat informasi justru dari wartawan. Contoh, banjir bandang di Aceh. Nah setelah itu saya langsung minta posko kami hubungi TNI, Polri untuk koordinasi. Setelah dapat data juga lengkap saya langsung buat berita. Saya ngajari staf saya menulis berita, tapi sulit mereka. Jadi saya nulis dan hitung sendiri. Mereka tidak terbiasa nulis. Kalau saya kebetulan hobi menulis jadi bisa menjawab. Saya belajar nulis sendiri dan dapat masukan dari teman-teman wartawan.
Dulu saya sering kirim ke koran tulisan saya waktu di BPPT. Waktu itu saya sudah nulis soal banjir ibukota. Sulit dulu diterima di koran. Setelah usaha terus akhirnya terbit. Itu senangnya bukan main. Saya diberi saran sama teman wartawan, judul beritanya singkat saja, biasanya pakai angka. Lalu ada nama korban, umur dan jenis kelamin. Kalau bisa ada juga nomor kepala BPBD yang bisa dihubungi.
Jadi saya enggak diajarin khusus, saya hanya diberi saran karena kebetulan saya sering menulis dan suka baca berita juga jadi belajar sendiri menulis berita. Setiap akhir tahun saya broadcast kecil-kecilan pada wartawaan, survei. Apa informasi yang saya berikan bermanfaat,apa saran kritik untuk humas BNPB?. Itu selalu saya tanyakan akhir tahun. Saya juga pesan ke BPBD wartawan akan hubungi. Harus siap, dan siap jadi terkenal ditelepon terus.
Orang-orang kadang membayangkan saya punya tim besar untuk menulis berita. Tidak. Saya punya staf hanya enam. Saya kaderkan staf saya, tapi kan tergantung kemauan mereka. Kemauan kapan pun melayani wartawan setiap saat. Kan tidak semua orang mau.
Kalau ada bencana bagaimana bisa cepat mendapatkan data?
Sebenarnya masalah kecepatan kadang agak sulit. Saya pengennya cepat, tapi BPBD kan kadang aksesnya menuju tempat bencana sulit. Kecuali kalau bencana gempa kayak tsunami, kami pasti dapat paling cepat dibanding yang lain karena kami bisa 5 menit sudah dapat dari sistem yang ada di sini. Sirine posko yang ada berbunyi. 10 menit sistem yang ada di BNPB langsung menghitung penduduk terdampak, goncangannya. Lalu saya analisis sebentar dampaknya, enggak nyampe 30 menit saya buat beritanya. Diupdate tersebut. Saya diperintahkan Kepala BNPB, harus ada edukasinya buat masyarakat.
Saat Anda kirimkan pesan broadcast terus-menerus pernah ada yang marah-marah?
Pernah. Saya pernah dimaki-maki. Ini kan kadang enggak ketahuan, siapa yang punya BBM-nya. Kalau enggak aktif, saya reinvite. Terus kan di 'accept' sama yang di sana. Begitu saya broadcast, sampai ada yang BBM 'T*ik lu bencana melulu dibroadcast'. Lah saya kaget kok dimarahin. Saya tanya 'maaf dari mana ini'. Ternyata dia pakai handphone punya wartawan. Jadi handphone wartawan dijual ke orang itu. Pantas aja saya diomeli kirim broadcast terus. Akhirnya saya delete.
Saya baru tahu, kadang ada wartawan yang kecele nunggu BBM dari 'gebetannya' ternyata datangnya malah broadcast dari saya juga. Soal bencana pula. Ya gimana saya kan harus kirim informasi itu.
Kesulitannya kalau pakai BBM, saya enggak bisa share foto ke banyak orang. Kalau satu-satu kan ndak bisa, kontaknya ada 1000 lebih.
Pihak Blackberry sendiri enggak nyangka bahwa produk mereka ini bisa membantu saya memberi kabar bencana, untuk membantu kemanusiaan. Dia pernah ngambil profil saya untuk expo blackberry sedunia di Amerika.
Waktu saya di Global Platform, pertemuan kebencanaan dunia, jadi narasumber. Saya ceritakan pengalaman saya, termasuk memberi kabar bencana melalui BBM. Mereka tidak bisa, karena BlackBerry di negara lainkan sedikit.
Dalam kejadian bencana, kami tidak mungkin menunggu data harus lengkap semua baru dikirim informasinya. Jadi kadang salah sedikit tetap kami kirimkan dulu pada wartawan. Namanya bencana masa panik. Nanti setelah itu baru kami update terus.
Bencana datang tidak kenal waktu, punya waktu libur?
Bencana bisa terjadi kapan saja. Anehnya hampir setiap Sabtu-Minggu. Saya yakin teman-teman wartawan susah cari informasinya. Ya udah saya buat. Saya enggak pernah libur. Ini saya boleh bilang, harus hobi, harus panggilan jiwa. Media kan klien saya, mereka bisa membutuhkan saya kapan saja. Media kan mampu membantu kesiapsiagaan masyarakat saat bencana. Saya sejak jadi PNS ndak pernah cuti. Kalau Lebaran, pas ada bencana ya tetap saya carikan datanya.
Saya kadang kalau lama enggak broadcast malah dicari wartawannya. 'Pak, ada berita apa, pak sakit ya atau di luar negeri? Kok enggak pernah broadcast'. Ada juga wartawan yang marah ke saya, dikiranya saya menghapus kontak BBMnya. Saya bilang, itu karena handphone saya rusak. Ringtone handphone saya kencangkan sampai full volume, 10 jadi kalau ada yang hubungi saya bisa segera respon.
Cuma kadang wartawan jadi manja juga. Waktu banjir di Jakarta, saya sendirian. Harusnya humas lain juga, bukan hanya BNPB. Tapi wartawan kan tanya ke saya semua. Ada yang nulis tangggul di Pluit jebol. Tapi mereka belum sampai ke tempat kejadian. Padahal belum lihat sendiri. Itu saya cek dulu. Ternyata enggak ada. Lalu tanya, ada penangkaran buaya lepas, gimana pak. Lalu tanya lagi, orang-orang kaya waktu banjir ninggalin anjing di rumahnya, apa yang dilakukan BNPB? Wah saya sampai bingung, masa urusan ini BNPB juga.
Lalu ada yang tanya korban meninggal berapa mau kasih bantuan, saya kasih datanya. Tapi ada yang tanya juga, ini korban meninggal dikubur di mana, lho ya mana saya tahu kuburannya. Kalau keluarga korban ada yang saya tahu.
Pernah keluarga mengeluh dengan kesibukan Anda ini?
Awalnya keluarga complain. Tapi setelah itu mengerti. Anak dan istri saya juga terima kok broadcast berita bencana dari saya.
Kalau pun kebetulan libur tanggal merah saya lebih senang pergi sama keluarga, atau baca buku.
Saya diajakin teman belajar golf, saya enggak bisa e. Ngapain mukul bola, terus dicari bolanya. Saya senangnya nonton. Nonton film action, saya copy dari laptop teman. Satu film bisa nonton lima kali. Bukan karena apa, tapi karena saya tinggal tidur terus. Kalau ngantuk, saya berhenti. Besok lanjut lagi. Ya gitu saja.
Kalau ada hubungannya dengan kementerian lain, saya tidak bisa langsung beri statement. Dulu pernah ditegur. Saya bilang, humas kementeriannya harus aktif, ini kan wartawan tanya ke saya terus. Bagaimana saya menjelaskannya. Jadi sekarang kalau berhubungan denegan kementerian saya keep dulu sampai semua ngomong. Saya tambahkan, tapi tetap kontaknyaa saya kasih punya kementeriannya biar dihubungi sendiri sama wartawannya.
Kenapa memilih menjadi jabatann sekarang dan melepas gelar profesor?
Saya sebenarnya waktu itu sudah siapkan semua untuk mendapatkan gelar profesor, SK-nya, administrasinya. Gedung, catering jas, sudah saya siapkan semua. Tapi waktu itu ada masalah administrasi. Saya enggak bisa, karena saya di BNPB. Saya hampir meninggalkan BNPB. Tapi setelah mendapatkan masukan dari Kepala BNPB saya memilih untuk tetap di sini. Saya bisa berkreasi dan saya membawa kabar yang dibutuhkan banyak pihak. Akan banyak hal yang dapat saya lakukan untuk masyarakat. Profesor kan hanya gelar. Toh saya juga bisa menjadi dosen mengajar seperti cita-cita saya. Saya menjadi dosen di Universitas Pertahanan dan dosen luar biasa di Universitas Indonesia.
Tersinggung enggak disebut si pembawa kabar bencana?
Enggak sama sekali. Saya anggap ini pekerjaan mulia, karena saya memberitahukan kabar yang harus diketahui masyarakat. Apalagi soal bencana, agar masyarakat juga siap siaga. Kita kan memberi edukasi juga. Saya berharap masyarakat tahu bahwa pemerintah juga perhatian terhadap bencana dan masyarakat sigap untuk menghadapi apapun jika ada bencana.(flo/jpnn)
Maudy Ayunda merasakan hal terdalam dalam hidupnya:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Erupsi Gunung Sinabung Membahayakan Penerbangan
Redaktur & Reporter : Natalia