jpnn.com - BIMA Arya Sugiarto dikenal sebagai sosok yang gaul, juga dekat dekat wartawan. Gaya politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu masih terbawa hingga kini, saat menjabat sebagai walikota Bogor.
Kemarin dia mengajak sejumlah awak media berakhir pekan dengan nonton bareng film Di Balik 98, di Cinema 21, mal Botani Square.
BACA JUGA: Penyegelan Inul Vista, Inul Daratista: MUI Jangan Dengar Sepihak
Film ini bercerita tentang kejatuhan pemerintahan orde baru, dan disutradarai oleh Lukman Sardi.
Namun rupanya film berdurasi 90 menit itu tak bisa memuaskan doktor Ilmu Politik lulusan Australian National University (ANU) Canberra, Australia 2006, itu.
BACA JUGA: Inul Daratista: Perpanjangan Izin Sudah Diterima 12 September
Menurut Bima, film yang dilatarbelakangi krisis moneter itu seharusnya bisa menggambarkan lebih dalam situasi saat itu.
Sutradara juga seharusnya bisa lebih memuat cerita yang jujur tentang sejarah di balik peristiwa 1998.
BACA JUGA: Anji Mulai Berpikir Ciptakan Lagu Anak-anak
“Itu, agak kurang dapat. Jadi kalau dari cinematografis, visualnya saya lihat film ini kurang maksimal, jadi agak kurang greget,” ujarnya usai menonton ditemani Ketua DPW PAN Edi Darnadi.
Jika melihat sejarah kelam saat itu, menurut Bima suasana yang seharusnya nampak di film adalah kepanikan dan ketakutan. Warga kebingungan dengan situasi negara yang genting. Juga gerakan gabungan mahasiswa seluruh Indonesia yang menuntut turunnya presiden Soeharto.
Ia menambahkan, pesan yang disampaikan pada film ini berada pada bagian ujung ketika bayi lahir dan meninggal dunia. Seolah-olah bagian film itu menyindir Indomesia, bahwa gerakan reformasi mati muda.
“Jadi belum selesai perubahan itu. Apa yang diusung sama mahasiswa dahulu, sekarang masih banyak terjadi. Korupsi masih di mana-mana, kolusi masih di mana-mana,” kata dia. Meski, sejumlah perubahan juga terjadi, demokrasi di Indonesia berubah secara drastis.
Menurutnya, perubahan yang ideal adalah kesejahteraan. “Kita lihat masih banyak PR yang belum tuntas. Film ini, mengingatkan kita seperti itu,” katanya.
Dia juga menyebut sosok Amien Rais sebagai tokoh reformasi pada saat itu juga kurang ditonjolkan.
“Saya lihat film ini berusaha untuk tidak menyakiti orang, menyinggung, dan menempatkan semua secara adil, tidak ada peran yang dilebih-lebihkan dan tidak ada peran yang dikecilkan,” ujarnya. Namun sayang, padahal banyak sekali fakta-fakta di balik itu.
“Yang mengalami masa-masa itu dapat masuk. Tapi bagi anak muda tidak sampai,” kata dia.
Politisi PAN itu bercerita, ketika terjadi kerusuhan 1998, dirinya sedang menyelesaikan pendidikan di Canberra, Australia. Saat itu setiap peristiwa yang terjadi di Indonesia dipantau melalui internet. “Melihat internet itu nangis karena di Jakarta rusuh luar biasa,” tuturnya.
Suami Yane Adrian ini menambahkan, setelah 17 tahun berselang, tantangan yang terjadi kini sudah berbeda. “Dulu menurunkan rezim otoriter, sekarang jangan-jangan otoriter itu ada di kita. Teman-teman mahasiswa juga sama-sama introspeksi diri,” ungkapnya. (ded/b)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melly Goelaw Terharu, Ibunda Sudah Siapkan Kado sebelum Meninggal
Redaktur : Tim Redaksi