Ini Kondisi Perekonomian 2016 berdasar Prediksi Bank Dunia

Selasa, 06 Oktober 2015 – 07:21 WIB
Uang. Foto: ilustrasi.dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan mencapai 5,3 persen. Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop mengungkapkan bahwa optimisme pertumbuhan ekonomi tahun depan dimotori oleh dampak positif dari paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diprediksi baru terasa dampaknya di tahun depan.

Selain itu, adanya peningkatan investasi pemerintah dan swasta, serta poin-poin paket kebijakan ekonomi yang diharapkan dapat mendorong investasi dan ekspor diharapkan dapat turut mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan.

BACA JUGA: Jokowi Minta Suku Bunga Turun, Penyaluran KUR Digenjot

"Kita harus lihat pertama-pertama bahwa ide untuk membuat paket kebijakan yang berfokus pada investment sangatlah bagus. Bagus untuk pertumbuhan juga tentunya. Jadi kami masih looking forward soal paket kebijakan. Dari paket yang sebelumnya saya rasa fokus-fokusnya sudah ditujukan pada sasaran yang tepat. Jadi dampaknya juga akan terlihat," ujarnya di Jakarta, Senin (5/10).

Ekonom Makro Senior dan Manajemen Keuangan Bank Dunia Hans Anand Beck berharap, paket kebijakan ekonomi pemerintah dan Bank Indonesia, mampu memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia.

BACA JUGA: Cegah PHK, Harga Gas Diturunkan

Selain itu, paket kebijakan yang fokus untuk membenahi investment dan mendorong ekspor juga diharapkan dapat menjadi stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Apalagi, lanjutnya, paket kebijakan ini dinilai bisa mengurangi angka pengangguran. Untuk itu diharapakan tahun depan pengangguran akan menurun karena adanya investasi yang tumbuh di tahun 2016.

BACA JUGA: Hitungan KPBB, Harga Premium Rp 5.044 per Liter

"Naiknya belanja infrastruktur pemerintah juga bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kami juga berharap keadaan global bisa mensupport kenaikan angka ekspor Indonesia dan diharapkan tingkat konsumsi juga bisa rebound tahun depan," tuturnya.

Selain itu, pihaknya memprediksi bahwa nilai tukar rupiah tahun depan juga masih memiliki ruang untuk rebound meski diakuinya ekonomi Indonesia masih terbilang slowdown.

Menurut dia, pelemahan mata uang yang terjadi beberapa minggu terakhir bukan hanya terjadi pada rupiah saja, melainkan pada seluruh mata uang negara yang diakibatkan tekanan eskternal.

Tekanan tersebut berasal dari volatility di pasar uang global yakni kondisi di Tiongkok, sehingga berdampak pada volatilitas keadaan keuangan di negara emerging market.

"Tapi kami harap hal itu hanya berlangsung sementara. Sejauh ini, kami meyakini bahwa nilai tukar bisa rebound. Kedepan, diharapkan meski ekonomi masih slowdown tapi masih ada peluang berangsur stabil kembali," katanya.

Disamping itu, Bank Dunia juga memprediksi, akan terjadi perlambatan secara bertahap terhadap ekonomi Tiongkok tahun 2016 hingga 2017. Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Axel Van Trotsenburg mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan adanya berbagai kebijakan di Tiongkok yang dinilai bisa mengendalikan dan menangani risiko penurunan ekonomi.

"Kebijakan tersebut termasuk tingkat hutang negara yang tidak terlalu tinggi, aturan melarang tabungan di luar sistem perbankan, dan besarnya peran negara dalam sistem keuangan," ujar Axel.

Menurutnya, jika pertumbuhan Tiongkok semakin melambat, dampaknya dapat dirasakan di seluruh kawasan, terutama di negara negara yang berhubungan dengan Tiongkok melalui perdagangan, investasi dan pariwisata.

Meski demikian, ekonomi Tiongkok diharapkan tumbuh 7 persen tahun ini. Sementara negara-negara berkembang lainnya di Asia Timur diperkirakan tumbuh 4,6 persen tahun ini, atau masih sama dengan tahun lalu.

"Produsen komoditas seperti Indonesia, Malaysia, dan Mongolia akan mengalami pertumbuhan yang lebih perlahan dan pendapatan negara yang melemah tahun ini mencerminkan turunnya harga komoditas global," tuturnya.

Sedangkan negara-negara importir komoditas akan bertahan stabil bahkan tumbuh, Vietnam misalnya diharapkan tumbuh 6,2 persen pada tahun 2015 dan 6,3 persen pada tahun 2016.

Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty menuturkan bahwa pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur melemah karena ekonomi Tiongkok berupaya mendapatkan keseimbangan dan kemungkinan normalisasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat.

"Faktor-faktor ini dapat menimbulkan guncangan finansial dalam jangka pendek, tapi ini adalah penyesuaian yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka panjang," tambahnya.

Disamping itu, World Bank juga mengasumsikan adanya kenaikan secara bertahap suku bunga AS dalam beberapa bulan kedepan. Meski kenaikan ini telah diantisipasi dan diharapkan berlangsung secara teratur, namun tetap ada risiko pasar dapat bereaksi terhadap pengetatan tersebut yang dapat menyebabkan depresiasi mata uang, meningkatnya perbedaan imbal hasil surat utang negara, serta berkurangnya aliran dana dan pengetatan likuiditas. (Owi/ken/dim/dee)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Harga Premium yang Ideal Menurut Pertamina


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler