jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyebutkan pemerintah sudah tepat menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah berbahaya.
Menurut dia, Indonesia harus meniru negara maju dalam mengelola FABA. Sebab, FABA nisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan semen dan jalanan.
Sebagai catatan, FABA ialah limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Di Jepang, bendungan Fukushima itu bahan bakunya dari limbah batu bara. Jadi kenapa enggak belajar dari itu," ujar Hendra dalam keterangan resmi kepada awak media, Selasa (23/3).
BACA JUGA: Fly Ash dan Bottom Ash Hasil Pembakaran Batu Bara Wajib Dikelola
Hendra menuturkan sejumlah perusahan batu bara, termasuk perusahaan PLTU telah melakukan kajian pemanfaatan FABA. Kajian menyatakan bahwa bahan baku dari FABA aman digunakan.
"Untuk pemakaian massal memang belum, karena masih harus ada clearence kan," ujar Hendra.
BACA JUGA: Ketua MPR Dorong Pemerintah Lakukan Gasifikasi Batu Bara untuk City Gas
Di Indonesia, Hendra menilai pemanfataan FABA masih skala kecil. Di sisi lain, produksi FABA dari PLTU mencapai belasan juta ton per tahun. Limbah itu akhirnya ditimbun tanpa pengelolaan.
"Kalau bisa dimanfaatkan ini malah mempunyai nilai tambah," ujar Hendra.
Sementara itu, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR Agung Murdifi menyatakan PLN tidak akan membuang limbah batu bara dan akan bekerja sama dengan banyak pihak untuk memanfaatkannya.
Sejak beberapa waktu belakangan, PLN telah melakukan berbagai uji coba dan mengembangkan FABA hasil pembakaran PLTU bisa dimanfaatkan.
Misalnya, menjadikan FABA untuk bahan penunjang infrastruktur seperti jalan, semen, hingga pupuk.
Di PLTU Tanjung Jati B yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, limbah FABA diolah menjadi batako dan beton pracetak.
Kemudian di PLTU Asam Asam, FABA dimanfaatkan sebagai road base atau lapisan jalan dalam pembuatan akses jalan.
Di PLTU Suralaya FABA dimanfaatkan sebagai bahan baku batako dan bahan baku di industri semen. Sementara itu di PLTU Ombilin, FABA dimanfaatkan menjadi campuran pupuk silika.
Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Nurul Taufiqu Rochman setuju dengan pemerintah yang menghapus FABA dari limbah berbahaya. Dia menilai limbah batu bara dan sawit memang tidak berbahaya.
“Jadi, semua tahu bahwa memang tidak ada yang berbahaya. Tidak ada yang B3. Kenapa harus dimasukkan ke B3. Bagaimana mengambil kebijakan waktu itu. Saya sayangkan sekali.
Nurul menuturkan tidak ada negara yang mengategorikan limbah batu bara dan sawit sebagai B3. Sebagai pakar dan pimpinan peneliti di bidang metalurgi, dia mengaku heran mengapa pembuat kebijakan terdahulu membuat kebijakan itu.
“Komposisinya sudah kami analiasa dan sebagainya tidak ada yang berbahaya,” ujarnya.
Sebelumnya, FABA dikategorikan menjadi Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan hasil uji laboratorium independen atas Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) yang sampelnya berasal dari beberapa PLTU, FABA yang dihasilkan tidak mengandung unsur yang membahayakan lingkungan. (ast/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan