jpnn.com, JAKARTA - Senior Cyber Security and Data Privacy Advisor SecLab BDO Indonesia Keith Douglas Trippie mengatakan serangan siber yang terjadi baik di Indonesia maupun di luar negeri sering kali bermotif finansial.
Perusahaan penyedia jasa konsultasi itu menyebut serangan seringkali didasari motif finansial.
BACA JUGA: BSSN: Serangan Siber Bjorka Masuk Kategori Intensitas Rendah
"Institusi perbankan paling sering menjadi sasaran serangan siber," kata Trippie dalam siaran pers pada Jumat (30/9).
Namun demikian, ada banyak kasus keamanan siber global dengan motif yang berbeda.
BACA JUGA: Kemenkominfo Ajari Siswa-Siswa Cara Memproteksi Serangan Siber
"Misalnya state sponsored attack terhadap SolarWinds, atau serangan rantai pasok yang menghantam Quanta, perusahaan yang menyuplai produk ke Apple, bahkan sasaran industrial negara dan sangat penting seperti Colonial Pipeline di Amerika," kata Trippie.
Trippie menyebut dampak kerugian akibat serangan siber global diperkirakan mencapai USD 2 kuintiliun di awal 2022.
BACA JUGA: UMKM Perlu Perlindungan dari Serangan Siber
"Meningkat jauh dari USD 400 miliar pada 2015, dan kerugian dari ransomware saja bisa mencapai USD 265 miliar pada 2031. Sudah saatnya perusahaan di Indonesia memperkokoh ketahanan sibernya di tahun ini, dan mempersenjatai diri dengan framework keamanan siber yang jelas agar tidak menjadi korban berikutnya," ungkap Trippie.
Cyber Security Director SecLab BDO Indonesia Harry Adinanta mengatakan pemerintah Indonesia sudah melakukan perbaikan, misalnya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tetapi masih butuh waktu sampai negara bisa mencapai tingkat kematangan pertahanan siber.
Meski demikian, pesatnya perkembangan teknologi, membuat kejahatan siber lebih gencar dan cepat dibanding berbagai perbaikan.
"Salah satu akar masalahnya adalah ketersediaan tenaga ahli," katanya.
Padahal, kata Harry Adinanta, di Indonesia pengguna teknologi internet telah mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk, atau sekitar 175,4 juta jiwa. Jumlah pengguna internet ini mengalami pertumbuhan sebesar 17 persen dibandingkan dengan jumlah pengguna internet pada tahun sebelumnya.
Masyarakat Indonesia menggunakan teknologi internet untuk berbagai macam transaksi, baik untuk kepentingan bisnis dan transaksi elektronik.
Salah satu masalah paling mendasar yang saat ini dihadapi oleh transaksi internet/transaksi elektronik adalah masalah keamanan sistem informasi dan perlindungan terhadap data pribadi.
"Berbagai faktor berkontribusi di dalam besarnya tingkat ketidakpercayaan pengguna internet dalam transaksi e-commerce, salah satu penyebab tertinggi adalah kejahatan siber," ungkapnya.
Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), diketahui ada lebih dari 700 juta serangan siber yang terjadi di Indonesia pada 2022. Baru-baru ini juga terjadi kebocoran data registrasi kartu SIM, di samping insiden-insiden besar sebelumnya yang melibatkan data kesehatan e-HAC, data kementerian, BUMN, hingga data pelanggan di e-commerce ternama.
Di samping itu, survei yang dilakukan oleh SecLab BDO Indonesia terhadap talenta TI di Indonesia, mengungkap bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi memilih untuk menjadi developer perangkat lunak, dan hanya 1 dari 10 yang berminat untuk mendalami keamanan siber. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul