jpnn.com - JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan PT PLN (Persero) untuk bisa menggarap proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW) dengan baik.
Kalau gagal, bisa-bisa perusahaan yang dipimpin Sofyan Basir itu menjadi penjual jasa saja. Tidak lagi memiliki kewajiban utama untuk membangun pembangkit karena dialihkan ke swasta.
BACA JUGA: Tiga Strategi Garuda Hadapi Gejolak Rupiah
Peringatan itu disampaikan Jusuf Kalla saat membuka Munas Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) di gedung pusat PLN, di Jakarta, kemarin. Dia menegaskan, PLN harus menyelesaikan jatah 10 ribu MW dalam mega proyek itu. "Kalau enggak mampu, bisa diturunin jadi 5 ribu," ujarnya.
Kalau jatah PLN berkurang, untuk menutupinya pemerintah kembali mengandalkan independent power production (IPP atau perusahaan listrik swasta). Dia perlu membuka peluang bagi swasta untuk lebih cepat, karena pemerintah kerjaannya cuma rapat, jadi lama. "Nantinya PLN bisa jadi perusahaan servis listrik," terangnya.
BACA JUGA: Rupiah Lemah, Maskapai Resah
Itulah kenapa, JK sempat bilang ke direksi PLN agar membuka masalah yang terkait proyek tersebut. Pemerintah, lanjutnya, siap membuatkan peraturan untuk mendukung PLN.
Dia memastikan itu karena ada dua perusahaan yang membuat pemerintah "angkat tangan" kalau ada permintaan. Yakni, PLN dan Pertamina.
BACA JUGA: Fadli Zon: Ini Pelemahan Rupiah Tercepat di Era Reformasi
"Butuh Rp 400 hingga Rp 500 triliun untuk membangun, APBN tentu tidak kuat. Sehingga swasta harus ikut serta," jelasnya.
PLN maupun IPP perlu ditekan untuk merealisasikan proyek tersebut untuk mengamankan listrik nasional. Dalam 10 tahun ke depan, harus tersedia sedikitnya 100 ribu MW.
Selain itu, Indonesia juga harus mulai memikirkan cadangan listrik. Besarannya, sampai 30 persen dari pembangkit yang ada. Misalnya dari proyek 35 ribu MW, maka cadangan idealnya adalah 10.500 MW. Adanya cadangan membuat pemadaman listrik hanya cerita lalu meski ada pembangkit yang bermasalah.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman, menambahkan arah perubahan bisnis PLN memang ada. Namun, bukan berarti nanti sama sekali tidak boleh membangun pembangkit. Uang yang tersimpan karena tidak digunakan membangun pembangkit, bisa dialihkan ke jaringan. "Arahnya kesana, tidak ada target kapan," jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, cost terbesar dari membangun infrastruktur sangatlah besar. Apalagi, pembangunan pembangkit untuk satu terminal menelan sedikitnya 60 persen anggaran. Jadi, kalau swasta mau bisa diberikan. Menurutnya, penguatan listrik nasional lebih baik dibagi-bagi.
Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto mengatakan, di internal PLN belum ada pembahasan soal perubahan bisnis tersebut. Yang jelas, dia tidak mempermasalahkan kalau IPP terus tumbuh di Indonesia. "Oke saja, asal sesuai ketentuan. Yang penting kebutuhan masyarakat terpenuhi, meningkatkan elektrifikasi, dan mengurangi byar pet," terangnya,
Namun, Bambang menyebut bisnis listrik tidak mudah. Dia lantas menyebut keberhasilan IPP membangun pembangkit rendah. Dari yang sudah punya komitmen, tetap ada kegagalan. Umumnya, karena masalah pendanaan.
"Sekarang ini, 85 persen pembangkit di Indonesia milik PLN. IPP sedikit karena masih baru, dan PLN sudah 70-an tahun," ungkapnya. (dim/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib 5 Bank Terancam jika Rupiah Anjlok di Level...
Redaktur : Tim Redaksi