Ini Saran dari Pakar Kebijakan Publik untuk Kalangan yang Tolak UU Cipta Kerja

Sabtu, 14 November 2020 – 19:13 WIB
UU Cipta Kerja dinilai mensejahterakan masyarakat secara adil, makmur dan berkelanjutan. Ilustrasi. Foto: Antara

jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Cecep Darmawan menganggap wajar jika ada uji materi suatu Undang-Undang, termasuk terhadap UU Cipta Kerja.

Ini disampaikan pakar kebijakan publik tersebut  dalam webinar bertajuk Menjawab Tantangan Meningkatkan Investasi Berkualitas dan Kesejahteraan Masyarakat dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diselenggarakan oleh PPM LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Jusuf Kalla di Balik Kepulangan Rizieq? 8 Oknum TNI jadi Tersangka, Siapa di Balik Nikita Mirzani

“Barangkali menemukan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bermasalah dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, maka ajukan uji materi di MK. Di negara hukum, uji materi adalah hal yang lumrah dilakukan,” tutur Cecep.

Menurut Cecep, jika ada pihak yang menolak UU Cipta Kerja secara keseluruhan maka berarti tidak menerima apa yang tertera dalam Pasal 1 UU Cipta Kerja.

BACA JUGA: UU Cipta Kerja Diharapkan Bisa Membuka Lapangan Kerja Baru untuk Kalangan Milenial

“Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional,” jelas Cecep mengutip Pasal 1 UU Cipta Kerja.

Menurutnya, yang tertera dalam Pasal 1 itu adalah makna yang dimaksud Cipta Kerja dan bernilai positif sebagaimana asas dan tujuan UU Cipta Kerja dalam pasal 2 dan 3.

BACA JUGA: Pemerintah Berlakukan UU Cipta Kerja, Mardani PKS Kembali Ungkit soal TKA

“Asasnya bagus sekali. Yakni, pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan dan kemandirian,” tambah Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan dan Penelitaian, UPI tersebut.

Dia berharap, dengan hadirnya UU Cipta Kerja, persoalan kepastian hukum itu bisa diatasi.

“Regulasi kita overloaded, kadang saling tabrakan, tumpang tindih. Mudah-mudahan dengan Undang-Undang ini (Cipta Kerja) ada kepastian hukum,” sambung Cecep.

Cecep menilai, jika dilihat dari tujuan UU Cipta Kerja (Pasal 3), penolak UU Cipta Kerja kemungkinan besar tidak akan menolak UU ini dalam konteks tujuan UU Cipta Kerja itu, yang menurutnya bunyi pasal itu sangat positif.

Untuk itu, saran Cecep kepada penolak UU Cipta Kerja, agar memastikan apakah terdapat pasal yang tidak selaras dengan tujuan UU Cipta Kerja (pasal 3) itu.

“Kalau nanti bagi yang menolak UU Cipta Kerja ini, misalnya, menemukan pasal-pasal yang bermasalah, maka kembali lagi ke tujuan UU Cipta Kerja (pasal 3) ini, apakah selaras,” kata Cecep.

Selain tujuan dan asas UU Cipta Kerja, yang juga dinilai Cecep positif dari UU Cipta Kerja adalah poin penerapan izin berbasis resiko yang diatur dalam pasal 7-10. “Itu bagus jika nanti konsisten dengan penerapannya,” Cecep mensyaratkan.

Cecep mengatakan banyak poin yang positif dalam UU Cipta Kerja. Namun, dia memberi catatan terkait upaya peningkatan investasi berkualitas dalam kaitannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada penerapan UU Cipta Kerja.

“Satu, harus memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat seperti diamanatkan para pendiri bangsa. Kedua, harus meningkatkan GNP (Produk Nasional Bruto), pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Kemudian, harus memberikan trickele down effect distribusi dari masyarakat menengah ke masyarakat menengah bawah,” kata Cecep.

Adapun yang keempat, harus mampu menggerakan sektor riil. Kelima, harus mampu memberikan efek domino bagi pajak dan penciptaan lapangan kerja terutama bagi kaum marjinal.

Keenam, membenahi regulasi yang berbelit-belit. Ketujuh, menjadi upaya untuk melakukan resource sharing bagi tenaga kerja dan penyerapan SDM.

“Jadi dengan adanya UU Cipta Kerja ini, nanti kalau ada Tenaga Kerja Asing itu dimanfaatkan untuk resource sharing. Tenaga kerja kita belajar dari mereka sehingga kemudian SDM kita yang dipakai,” Cecep menjelaskan.

Selain merespons substansi UU Cipta Kerja, Cecep juga meluruskan kekeliruan orang yang selama ini meggunakan frasa ‘Undang-Undang Omnibus Law’.

“Yang benar adalah UU Cipta Kerja, bukan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Tidak ada itu istilah Undang-Undang Omnibus Law. Karena Omnibus Law itu metode penyusunan Undang-Undang,” pungkasnya. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler