JAKARTA - Setelah para buruh menyuarakan protes terhadap kebijakan baru terkait fasilitas jaminan hari tua (JHT) dan pensiun, pihak giliran pengusaha turut bicara. Mereka meminta pemerintah tak berpihak dalam menerapkan aturan tekait fasilitas tenaga kerja Indonesia.
Ketua Umum Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengaku, pihaknya memaklumi keluhan pekerja yang mempermasalahkan kriteria pencairan dana JHT yang terlalu kaku.
Memang, sifat JHT lebih ke arah titipan dari para pekerja untuk digunakan saat tak lagi produktif bekerja. Karena itu, pemerintah memang tak seharusnya menahan apa yang menjadi hak pekerja.
"Cashflow pekerja kan berbeda-beda. Ada yang harus membiaya anak sekolah atau membayar hutang. Meskipun hakikatnya, ini adalah jaminan kita masih punya kekuatan finansial di hari tua," terangnya di Jakarta kemarin (4/7).
Terkait rencana revisi, penerus taipan keluarga Sahid itu mengaku tak menolak. Namun, dia mengaku sikap lunak pemerintah tak boleh keterlaluan sampai-sampai menuruti semua tuntutan buruh. Misalnya, tuntutan Gerakan Buruh Indonesia (GBI) terkait iuran pensiun agar bisa mencapai 8 persen.
"Sebelum ketentuan iuran diubah, kami jujur sempat bersitegang dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan saat penentuan besara iuran. Kalau delapan persen bisa bubar semua industri Indonesia," jelasnya.
Dia menjelaskan, saat ini pengusaha harus mengiur 10,54 persen-11,74 persen dari gaji pekerja untuk berbagai manfaat dan jaminan pekerja. Angka tersebut harus dibayarkan di luar hak gaji pegawai.
BACA JUGA: Roy Marten dan Joy Tobing di Kepengurusan Demokrat
Jika pemerintah menetapkan 8 persen, beban iuran pun pasti menembus 15 persen diluar hak gaji pegawai. Angka tersebut diakui bakal membuat pengusaha gulung tikar.
"Kami bahkan menghitung bahwa iuran pensiun 1,5 persen sudah cukup. Hanya saja, Kementerian Keuangan, akhirnya menambahkan bonus demografi sehingga jadi tiga persen. Meski tak ideal kami juga harus terima," ujarnya.
Belum lagi, lanjut dia, wacana iuran tabungan perumahan rakyat (tapera) muncul. Dia mengaku pihak pengusaha sudah khawatir jika iuran tersebut kembali membebani perusahaan. "Kalau pemerintah mewajibkan pekerja menabung silahkan. Tapi, kalau ternyata mengeluarkan iuran lagi, kami akan menolak keras," ungkapnya.
Dia berharap pemerintah tak hanya mendengar suara buruh terkait kebijakan-kebijakan tenaga kerja. Pasalnya, laju industri di Indonesia saat ini terus melambat. Menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2015 mencapai 5,81 persen. Angak itu naik 0,1 persen dibandingkan TPT Feburari 2014.
"Kalau soal iuran JHT jelas kami tidak bisa ubah karena ada dalam undang-undang. Tapi, jangan sampai iuran pekerja yang ditanggung perusahaan yang lain muncul lagi. Pemerintah harus tahu bahwa lapangan kerja di Indonesia pun semakin menciut," imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konferensi Serika Pekerja Seluruh Indonesia Subiyanto mengaku masih tak percaya tiga persen bisa memberikan manfaat pensiun yang layak. Keraguan itu muncul karena faktor inflasi yang diakui belum dipastikan menjadi faktor perhitungan manfaat.
"Pemerintah bilang manfaat itu antara 300 ribu sampai 3,6 juta. Tapi, kalau itu baru cair 56 tahun kemudian, apa gunanya uang itu. Sedangkan prediksi gaji rata-rata Indonesia pada 2030 saja mencapai Rp 10 juta," ungkapnya. (bil)
BACA JUGA: Mabes TNI tak Larang Lanud Soewondo Dipindah
BACA JUGA: 31 Kantong Jenazah Belum Teridentifikasi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenazah Dikenali Berkat Kalung yang Masih di Leher
Redaktur : Tim Redaksi