jpnn.com, PALEMBANG - Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumsel, Dr Rizal Sanif SpOG (K) angkat bicara terkait dugaan praktik aborsi yang dilakukan Dr Wim Ghazali.
Dia menegaskan, jika yang bersangkutan benar melanggar sumpah IDI dalam pelayanan medis, pihaknya akan memberikan sanksi kepada anggotanya tersebut.
BACA JUGA: Dokter dan Mahasiswi Ditangkap saat Berada di Klinik
"Seperti mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) keprofesian dan dikeluarkan dari anggota," ujarnya. Tapi sebelum itu, harus dibuktikan dulu kebenarannya di Pengadilan. Tidak bisa langsung menghakimi.
Biasanya, yang bersangkutan juga akan melapor ke IDI Kota Palembang. "IDI akan memberikan bantuan sebagai anggota, tapi bukan untuk dibebaskan," sebutnya. Menurut Dr Rizal, aborsi sebenarnya bisa dilakukan jika pasien mengalami kelainan pada kandungan dan mengancam keselamatan sang ibu.
BACA JUGA: Polisi Masih Memburu Kekasih Pelaku Aborsi
Tapi tindakan ini, kata dia, harus diputuskan oleh pihak rumah sakit. "Selain melanggar, aborsi ilegal itu sangat berbahaya karena berisiko memicu pendarahan dan infeksi, makanya bisa ancam keselamatan," tuturnya.
Ketua IDI Kota Palembang, Dr Abla Ghani SpTHT mengaku akan mempelajarinya terlebih dahulu terkait kasus dugaan aborsi Dr Wim Ghazali di salah satu klinik.
BACA JUGA: Aborsi, Ibu Muda Buang Jasad Bayi di Tong Sampah Klinik
Dokter dan Mahasiswi Ditangkap saat Berada di Klinik
"IDI rapat dulu. Bila memungkinkan kita akan mengklarifikasi dan memanggil langsung dokter bersangkutan. Itu untuk memastikan apakah betul memang terjadi pelanggaran," ujarnya.
Diakuinya, pelanggaran dokter ada beberapa jenis. Jika menyangkut kode etik ditangani Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, pelanggaran disiplin ditangani Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), atau pelanggaran hukum wewenang pihak berwajib.
"Untuk persoalan hukum ini, kami tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah, sampai betul-betul terbukti bersalah di Pengadilan," pungkasnya.
Terpisah, Ketua POGI Sumsel, Dr dr K Yusuf Efendi SpOG (K) menambahkan, ada beberapa kasus boleh aborsi. Pertama, jika janin mati atau tidak berkembang.
"Terpaksa aborsi dilakukan," katanya. Lalu kondisi kehamilan mengancam nyawa ibu, contoh ibu hamil punya penyakit jantung berat atau asma berulang karena hamil. Perempuan dengan kasus perkosaan, tapi ini harus diperiksa tim dokter dan polisi, apa murni kasus perkosaan atau bukan. "Aborsi sesuai persetujuan tim," imbuhnya.
Untuk indikasi lain, tidak boleh dilakukan meskipun perempuan belum menikah, ibu memiliki banyak anak, atau hamil lagi di atas 40 tahun.
"Aborsi pun harus dilakukan dokter berkompeten dan memenuhi persyaratan, usia kandungan di bawah 5 bulan, mendapat persetujuan dari suami dan sang ibu, didukung peralatan medis yang lengkap dan memadai, "tukasnya.
Menyikapi persoalan ini, Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumsel, dr H Tisnawarman MKes menyebut pihaknya masih mengedepankan azas praduga tak bersalah. "Karena masih diproses, jadi semuanya kita serahkan dulu ke penyidik. Kita ikuti prosedur yang berlaku. Kalau terbukti pasti ditindak pihak berwajib," ujarnya.
Kadinkes Kota Palembang, dr Hj Letizia MKes mengaku belum mendengar kabar tersebut. Tapi pihaknya akan segera mencari tahu informasi tersebut. "Kalau kebenarannya terungkap, baru kita bisa memberikan pernyataan," cetusnya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palembang, KH Saim Marhadan mengingatkan aborsi atau pengguran janin tak boleh dilakukan. Hukumnya haram, kecuali janinnya belum berusia 40 hari. "Itu pun jika ada hal-hal yang sifatnya mengancam nyawa ibu bila kehamilan dilanjutkan. Atau karena gugur janin secara alamiah."
Pelaku praktik aborsi, baik tenaga medis maupun pasiennya bisa dikenai hukuman karena dianggap tindak pidana. Yakni menghilangkan nyawa anak manusia dengan sengaja. (vis/uni/qiw/fad)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Darah Berceceran di Kampus, Diduga Ada Mahasiswi Aborsi
Redaktur & Reporter : Budi