jpnn.com - JAKARTA - Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sadar Subagyo mengusulkan agar aplikasi prinsip quality assurance (sistem penjaminan mutu) yang terdiri dari siklus Plan-Do-Check-Action (PDAC), dapat diterapkan di bisnis process BPK.
Hal ini sangat penting guna membantu meningkatkan potensi penerimaan pajak, karena BPK dapat meminimkan praktik-praktik transfer pricing yang sangat merugikan keuangan negara.
BACA JUGA: Kaya Pangan tapi Indonesia Masih Impor Beras
"Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang, tugas BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Selama ini ruang lingkupnya lebih ke arah belanja negara, belum mencakup pendapatan negara. Jika ruang lingkup ini diperluas, dalam artian setiap pendapatan badan hukum dan orang perorangan terdapat porsi keuangan negara berupa kewajiban membayar pajak maka akan mampu meningkatkan pendapatan negara," kata Sadar Subagyo, di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (4/9).
Menurutnya, penerapan sistem penjamin mutu ini sangat positif membantu peningkatan potensi penerimaan pajak. Selama ini, potensi penerimaan pajak belum digali secara maksimal. Hal ini terlihat dari tax ratio Indonesia yang masih sangat rendah yang hanya mampu bergerak di angka 12 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki tax ratio 15,5 persen, Thailand 17 persen Filipina 14,4persen dan Vietnam 13,8 persen. "Jadi, tax ratio kita jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga," ungkap anggota Komisi XI DPR ini.
BACA JUGA: Nasabah Bank Permata Syariah Langsung Dilayani Direktur
Sadar menegaskan, penerapan sistem penjaminan mutu juga akan membantu BPK meminimkan praktek transfer pricing yang sangat merugikan keuangan Negara. Hingga saat ini, disinyalir praktek transfer pricing masih terjadi. "Negara dirugikan triliunan rupiah karena praktik transfer pricing perusahaan asing di Indonesia," ujarnya.
Dia jelaskan, setelah melakukan perluasan ruang lingkup audit, dalam praktek audit harus mengacu pada ketentuan PDCA. Pertama, Plan (Rencana). Perencanaan Audit harus didasarkan pada risk based audit. "Dengan keterbatasan sumberdaya audit maka audit harus difokuskan pada area-area yang berisiko tinggi untuk terjadinya penyelewengan," saran politisi partai Gerindra ini.
BACA JUGA: Menaikkan Cukai dan Pajak Dinilai Opsi tak Bijak
Kedua, Do (Kerjakan). Untuk proses ini, pelaksanaan audit dibagi dua tahap yakni untuk audit keuangan sebaiknya diserahkan ke kantor akuntan publik (KAP) saja dan BPK sebagai supervisor. BPK harus lebih banyak mencurahkan waktunya untuk audit kinerja (audit bisnis proses). Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari NIK Polandia.
"Karena faktanya banyak entitas yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tapi masyarakat masih merasakan pelayanannya amburadul," kata Sadar.
Di samping itu, BPK juga harus mulai mengintensifkan implementasi E-Audit sehingga kualitas dan kuantitas audit dapat meningkat. "Pelaksanaan E-Audit dapat mengurangi waktu audit sampai 70 persen," jelas mantan peneliti IPB ini.
Ketiga, Check (Evaluasi). Fase ini sangat penting untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi publik. Karena itu, hasil audit semestinya diunggah dalam situs web tertentu sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan. "Dan keempat, Action (menindaklanjuti) dengan memastikan bahwa temuan dan rekomendasi hasil pemeriksaan harus ditindaklanjuti dengan benar. Untuk itu perlu dikembangkan "tracking system" terhadap temuan dan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan," pungkasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Renegosiasi Newmont Tunggu Induk Usaha
Redaktur : Tim Redaksi