jpnn.com, JAKARTA - Hingga saat ini para honorer K2, termasuk di dalamnya guru honorer, yang lulus seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) tahap I 2029, belum juga menerima NIP (Nomor Induk Pegawai). Mengapa? Simak penjelasan Didi Suprijadi, ketua PB PGRI masa bakti XXl.
Menurut Didi Suprijadi, dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 2 tentang PPPK menyebutkan bahwa jabatan ASN yang dapat diisi oleh PPPK meliputi Jabatan Fungsional (JF) dan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Jangan Siksa Honorer Lagi Hingga Revitalisasi Monas Panas
Aturan pengadaan kedua jabatan tersebut tidaklah sama. Pengadaan PPPK untuk mengisi JPT utama dan JPT madya tertentu yang lowong dilakukan sesuai ketentuan mengenai tata cara pengisian JPT dalam peraturan perundang-undangan, dan berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Sedangkan pengadaan PPPK untuk mengisi JF dapat dilakukan secara nasional atau tingkat instansi. Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh panitia seleksi dengan melibatkan unsur dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
BACA JUGA: Pernyataan Penting Menteri Tjahjo saat Merebak Isu Honorer Dihapus
Jabatan fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional berdasarkan pada keahlian dan ketrampilan tertentu.
"Jabatan fungsional adalah pegawai ASN yang menduduki (jabatan fungsional) pada instansi pemerintah, seperti guru, penyuluh, perawat, dan lainnya," kata Didi dalam pesan elektroniknya kepada JPNN.com, Sabtu (25/1).
BACA JUGA: Kabar Gembira untuk Para Guru Honorer
Salah satu ciri jabatan fungsional adalah adanya kompetensi dengan dibuktikan mempunyai sertifikat keahlian yang dikeluarkan oleh kelompok profesi keahliannya.
Saat ini terdapat 51 ribuan PPPK yang lulus seleksi tahap I 2019 dan masih menunggu terbitnya NIP serta SK.
Menurut Didi, ditengarai belum terbitnya SK PPPK bagi guru honorer yang lulus seleksi periode pertama akibat banyak tenaga pendidik tidak memiliki sertifikat sebagai syarat menjadi guru profesional.
"Syarat menjadi guru PPPK adalah sertifikat pendidik sebagai tolok ukur adanya kompetensi," ujarnya.
Dia melanjutkan, minimnya guru honorer yang memiliki sertifikat pendidik karena mereka bertahun-tahun mengajar di sekolah negeri dianggap bukan menjadi pegawai tetap.
Berbeda dengan guru guru honorer di sekolah swasta yang lebih mudah persyaratannya untuk mengikuti sertifikasi pendidik. Akibatnya guru guru honorer kesulitan mengikuti program sertifikasi yang diselenggarakan pemerintah.
"Sepanjang guru-guru honorer tidak mempunyai sertifikat pendidik, selama itu pula guru honorer dianggap belum profesional," cetus Didi.
Selama guru honorer belum bersertifat pendidikan, maka akan terkendala untuk diangkat menjadi PPPK. Bila pemerintah mempunyai kemauan politik untuk menyelesaikan guru guru honorer maka permudah mereka ikut seleksi sertifikasi pendidik terlebih dahulu.
Untuk pola sertifikasi yang cepat, mudah dan murah, Didi menyarankan pola seperti sertikasi awal pemerintah melakukan, yaitu dengan pola Portofolio.
Pola Portofolio pernah dilakukan pemerintah dalam rangka mensertifikasi massal guru guru di tahun awal awal program sertifikasi.
Pola ini walaupun banyak yang tidak sependapat tetapi untuk keadaan darurat seperti saat ini yang sedang kekurangan guru perlu pemerintah mempertimbangkannya.
"Diharapkan guru-guru honorer yang mengikuti sertifikasi pola Portofolio akan terpenuhi syarat porofesionalnya sebagai PPPK," tandasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad