jpnn.com, ACEH - Tsunami Aceh 16 tahun lalu masih membekas dalam ingatan Yulizar.
Minggu 26 Desember 2004 sekira pukul 08.45, Bumi Serambi Mekkah diguncang gempa dengan kekuatan dahsyat, 9,1-9,3 SR. Meluluhlantakkan Banda Aceh.
BACA JUGA: 16 Tahun Tsunami Aceh, Begini Kondisi Rian bersama Istri dan 2 Anaknya
Gedung-gedung berjatuhan, orang-orang panik. Di setiap mulut warga terucap zikir la ilaha illallah.
Di tengah kecemasan yang tak menentu, intuisi seorang jurnalis yang ada pada Yulizar bergejolak.
BACA JUGA: Hadapi Bahaya Corona, Prabowo Teringat Tsunami Aceh
Yulizar. Foto: diambil dari rakyataceh
Dia memanjat tower frekuensi, kurang lebih 15 meter tingginya.
BACA JUGA: Penjelasan Lengkap BMKG Terkait Fenomena Awan Tsunami di Aceh
Merakit ulang kabel yang ada. Kurang lebih satu jam semua perlengkapan disiapkan.
Yulizar yang notabene adalah anggota Radio Amatir Penduduk Indonesia (RAPI) berhasil terhubung ke Jakarta, Departemen Sosial (Depsos).
“Jadi saat orang lagi merateb (berzikir) la ilaha illallah. Saya naik tiang. Menarik kabel. Listrik enggak ada, saya coba baterai. Kebetulan saat itu ada solar cell, ini untungnya. Memang setiap bencana itu ada kemudahan. Ada keajaiban,” tuturnya kepada Rakyat Aceh, Jumat (25/12).
Dia mengenang, hal pertama yang ia laporkan adalah gempa.
Dengan durasi waktu per dua jam sekali. Yulizar terhubung ke Jakarta tepat pukul 10.30 WIB.
Sebelum itu, ia sudah melakukan koordinasi dengan Panglima Laot (sebuah lembaga yang mengatur adat melaut di Aceh). Mereka melaporkan bahwa Banda Aceh sudah menghitam, tak tahu harus berlabuh ke mana.
Setelah itu, Yulizar berkoordinasi dengan camat setempat.
Saat gempa, dikisahkannya, masih ada jaringan di Aceh. Setelah tsunami semuanya putus total.
Seingat Yurizal, hanya ada satu provider dengan inisial F yang bisa terkoneksi.
“Jadi yang saya infokan, saya enggak tahu waktu itu istilahnya tsunami. Kami menyebutkan bahwa di Banda Aceh telah terjadi gelombang pasang, dengan jumlah kematian sekian. Ditanya apa kebutuhan, kami laporkan kebutuhan kantong mayat, mungkin di atas seribuan. Loh kok segitu banyak? Gila apa. Mereka tidak tahu,” jelasnya.
Jiwa sosial dan jurnalisme Yurizal terus bergejolak. Padahal, saat itu ia kehilangan orang-orang tercinta.
Istri, anak dan mertuanya terbawa arus dan meninggal dunia.
Bahkan, hingga kini jasadnya tak kunjung ditemukan.
Saat berkisah tentang ini, nada suaranya serak. Yulizar tak bisa menyembunyikan kesedihan amat mendalam.
Inisiatif dan laporan yang ia berikan sangat bermanfaat untuk mengabarkan duka dari Aceh.
Atas laporan tersebut, di Jakarta langsung dibentuk Crisis Center, langsung dipimpin Wakil Presiden RI saat itu, Jusuf Kalla.
Di hari kedua, muncul di running text bahwa RAPI berhasil menembus komunikasi di Aceh. Seluruh media berkumpul di Crisis Center sebagai referensi.
Adapun alat yang digunakan saat itu berupa radio SSB. Benda penuh sejarah tersebut, saat ini dimuseumkan di Museum Tsunami Aceh.
Bagi pria yang lebih dikenal dengan nama sandi BKO tersebut, segala peralatan RAPI kala itu memuat banyak kisah.
Sebelum tsunami, konflik di Aceh masih berkecamuk. Oleh militer, mereka divakumkan.
“Waktu darurat militer vakum, peralatan diminta turunkan semua. Tiang masih utuh. Jadi tak semua serahkan, yang bagus-bagus saya simpan lah,” bebernya.
Aksi Yurizal sebagai ujung tombak informasi Aceh kala tsunami belum banyak diketahui orang. Namun telah menjadi rujukan akademik, menjadi tesis salah seorang mahasiswa di Universitas Pertahanan, dengan judul: Peranan RAPI Sebagai Instrumen Komunikasi Bencana.
Saat ini, Yulizar menjabab sebagai Ketua III RAPI Aceh.
Selain itu, ia juga ditarik sebagai tenaga kontrak pada Diskominfo Provinsi Aceh.
Pengalaman dan jam terbang yang bersangkutan dinilai layak untuk bertugas di sana. Dia telah bekerja sejak tahun 2010.
Kabid Pengelolaan Komunikasi Publik Diskominfo Aceh, Alfajrian AB menuturkan, bahwa butuh kerja keras untuk memperjuangkan Yulizar.
“Memperjuangkan BKO (Yulizar) masuk, saya masih Kepala Seksi Multimedia dan Informatika Dishub Komintel saat itu. Jadi waktu itu UPTD Telematika baru berdiri, di bawah Diskomintel. Ada seksi komunikasi. Saya berpikir bagaimana tupoksi ini berjalan. Apalagi ada masalah penanganan frekuensi, radio dan lain-lain. Waktu itu minta tolong sama salah satu jurnalis. Ketua RAPI kota,” kenang Alfajrian AB.
Dia mengatakan, saat itu belum ada persetujuan untuk menambah tenaga kontrak. Dia memperjuangkan agar bisa masuk ke Kepala Dinas (Kadis). Singkatnya, akhirnya disetujui.
“Alhamdulillah sejak dia masuk jalan tupoksi itu. Pada saat itu Tagana keluar, BPBA keluar, dan alhamdulillah sampai sekarang eksis,” imbuhnya.
Dia menambahkan, pada 2014 saat pameran di Jakarta, Radio SSB yang digunakan Yulizar saat menginfokan perihal bencana gempa dan tsunami Aceh, ditampilkan. Banyak orang antusias. Benda bersejarah itu, menjadi benda yang paling menyita banyak perhatian. (ra)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan