jpnn.com - JAKARTA – Kasus tunggakan gaji yang dialami para pesepak bola di Indonesia bukan hal yang asing. Sudah banyak pemain yang menjadi korban karena gajinya tak dibayar.
Salah satu yang paling menyesakkan ialah nasib yang menimpa Salomon Begondo.
BACA JUGA: Menpora Meriahkan Lomba Poco-Poco Jelang Tafisa Games
Dia harus mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup karena gajinya tak dibayar klub.
Dia akhirnya meninggal di rumah sakit. Yang lebih ironis, Salomon tak bisa membayar biaya rumah sakit.
BACA JUGA: Adik yang Ngeyel Bertekad Bikin Persipura Jengkel
Selain itu, publik juga masih ingat dengan kasus yang menimpa Diego Mendeita.
Pemain asal Paraguay itu juga meregang nyawa. Selain pemain asing, ada banyak pesepak bola lokal yang mengalami nasib serupa.
BACA JUGA: Bendera Raksasa Sambut Peserta TAFISA
Meski tak sampai meninggal, para pemain lokal juga banyak yang tidak menerima gaji.
Hal itu menjadi bukti bahwa ada yang salah dengan tata kelola klub saat mengontrak pemain.
“Di tengah belum tertatanya kompetisi dan industri sepak bola nasional dengan baik, nasib pemain kerap terabaikan,” kata salah satu calon Ketum PSSI Moeldoko, Sabtu (8/10).
“Jaminan pemenuhan kontrak, jaminan perlindungan kesehatan dan jaminan kerja di masa pensiun bisa dikatakan masih minim mereka terima,” tambah mantan Panglima TNI itu.
Pria yang puluhan tahun membina PS TNI itu menambahkan, situasi tersebut berbeda dengan luar negeri.
Di negara yang sepak bolanya memasuki level industri, pendapatan para pemain sudah sejajar dengan superstar dunia hiburan, politikus maupun eksekutif perusahaan besar.
“Selain mendapat popularitas dan penghasilan tinggi, mereka juga mendapatkan berbagaiaspek yang menjamin kehidupan mereka. Seperti pengelolaan kontrak kerja yang baik, jaminan asuransi kesehatan serta jenjang karier yang baik di masa pensiun,” imbuhnya.
Menurut Moeldoko, perbedaan nasib itu terjadi karena klub di Indonesia sering tidak realistis mengatur neraca keuangan.
Terutama ketika mengontrak pemain. Klub sering mengikat pemain dengan harga mahal tanpa menghitung pendapatan secara cermat.
“Di era ini, adanya financial fairplay (penyeimbangan keuangan), budget cap (pembatasan biaya) maupun salary cap (pembatasan gaji) sangat dibutuhkan, sehingga klub diharuskan untuk menyesuaikan neraca sekaligus memastikan pemain mendapatkan hak sebagaimana mestinya,” kata Moeldoko.
Penerima Bintang Adhi Makayasa 1981 itu menambahkan, kebijakan tersebut tidak hanya menjamin nasib pemain.
Hal itu juga berguna untuk menjaga kelangsungkan hidup klub sekaligus mempertahankan nama baik.
Nama baik negara juga akan terjaga. Sebab, selama ini kasus yang menimpa pemain yang berkarier di Indonesia kerap menjadi sorotan media asing.
“Upaya lain adalah dengan mewajibkan adanya pendampingan hukum bagi pemain saat pembuatan kontrak, sehingga pemain memahami apa yang menjadi haknya dan tidak terjadi kesenjangan pemahaman kontrak yang berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari,” kata Moeldoko.
Moeldoko juga sudah punya rencana jika menghadapi masalah itu ketika menjabat sebagai Ketum PSSI.
“PSSI akan melakukan upaya khusus seperti solusi pembayaran gaji bertahap, rasionalisasi logis maupun upaya lain yang diperlukan. Solusi dari upaya tersebut akan diawasi secara berkelanjutan sampai permasalahannya tuntas,” kata peraih doktor Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia itu. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pindad Siapkan Senjata Baru di Kejurnas HUT Korps Brimob ke-71
Redaktur : Tim Redaksi