Insaf Jadi Bandar Narkoba, Kodrat Kini Tekuni Melukis Kain

Senin, 10 Desember 2018 – 21:32 WIB
Kodrat Pranoto. FOTO : Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Butuh waktu 15 tahun bagi Kodrat Pranoto untuk benar-benar lepas dari narkoba. Kenal pada 2000 lalu menjadi bandar, berhenti pada 2010, dan benar-benar lepas dari narkoba pada 2015.

''Saya termasuk orang yang paling beruntung di dunia. Saya rasa Tuhan memberi saya kesempatan menebus kesalahan,'' kata pria yang dikenal dengan nama Bimo tersebut. Ketika bicara, tidak terlihat tanda-tanda bekas pecandu. Artikulasinya mantap, ucapannya runtut. Badannya pun tegap dan berotot. Sekilas, dia lebih sehat ketimbang kebanyakan orang seumurnya.

''Saya kenal narkoba sejak SMA. Tahun 2000-an. Semuanya saya coba. Mulai ganja, sabu-sabu, putau,'' katanya. Laiknya remaja yang tumbuh di kota besar pada masa itu, godaan terhadap narkoba memang sangat besar. Masa-masa itu, Indonesia darurat narkoba.

Belum ada perangkat hukum untuk menjerat pengguna psikotropika. Artinya, ekstasi, sabu-sabu, dan putau masih sangat sumir. Kalaupun dipaksakan, mereka hanya dijerat dengan UU Kesehatan.

Selain itu, aparat hukum belum dibekali pengetahuan semacam itu. Bahkan, polisi saat itu belum mempunyai satuan reserse narkoba sendiri. Hanya ada satu unit reserse narkotika. Maka, tak heran jika suplai narkoba begitu besar. Di Jalan Jagalan, Surabaya, bandar putau dengan percaya diri memajang putau yang sudah dikemas dalam plastik-plastik kecil seperti jajanan anak-anak.

Dalam situasi tersebut, Bimo menjadi bandar. Perhitungannya sederhana. Setidaknya, dengan menjadi bandar, dia masih bisa pakai narkoba dengan gratis. Tidak sampai tekor dan harus jual perabot rumah seperti pecandu pada zaman itu. ''Saya biasa memakai sistem ranjau. Bedanya dengan sekarang, pada zaman saya, untuk sistem ranjau barangnya besar-besar. Sekarang 1 gram saja diranjau,'' katanya.

Namun, situasi berubah empat tahun kemudian. UU Narkoba dan Psikotropika diteken. BNN dibentuk. Polisi membuat Direktorat Reserse Narkoba. Perang terhadap narkoba dicanangkan. Para bandar dan pengedar ditindak tegas. Ada yang ditembak mati. Ada yang sedikit beruntung hanya ditembak kakinya. ''Saya termasuk yang beruntung. Tak pernah tertangkap,'' kenangnya. Tapi, dia mengaku berkali-kali dikejar polisi. ''Untungnya, saya selalu lolos,'' tambahnya.

Gelombang penangkapan yang menimpa rekan-rekannya itu membuat Bimo berpikir ulang soal kehidupannya. Apalagi setelah salah seorang sahabatnya sekarat karena overdosis putau. ''Bagaimanapun, saya masih punya perasaan. Apa iya sih saya harus hidup begini terus?'' tambahnya.

Dia lalu mengungsi ke sebuah hutan di kawasan Malang yang disebut rumah keduanya. Dia menyepi dan berpikir. Kemudian, membenahi diri. Seperti Edmond Dantes dalam cerita Count of Monte Cristo, Kodrat bangkit. Dia menekuni hobi lamanya. Melukis. Sejak SD, dia memang jago menggambar.

''Saya berhenti mbandar pada 2010 dan benar-benar fokus melukis,'' ucapnya. Namun, dia belum sepenuhnya lepas. Kadang ada teman dari dunia lama yang datang dan kembali memakainya sebagai penghormatan. Dia lalu mengembara ke Bali, Jogjakarta, Malang, dan Pasuruan untuk memperdalam ilmu seni. Dia baru kembali ke Surabaya pada 2015 dengan status benar-benar bersih dari narkoba.

Awal 2018, dia bergabung dengan Sanggar Cakra Bronggalan Sawah asuhan Ni Luh Indrawati. Selain melukis, Bimo mempelajari shibori atau seni pewarnaan pada kain asal Jepang yang membentuk pola tertentu. ''Banyak yang tertarik pada karya shibori Bimo. Sejumlah perusahaan bahkan berencana memesan dalam jumlah banyak,'' kata Ni Luh Indrawati. (aufar/c6/ano)

BACA JUGA: Desa Kian Sejahtera, Potensi Penyelewengan Narkoba Meningkat

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Bandar Narkoba Jaringan Aceh Dibekuk Polisi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler