Insentif Tarif EBT Berpotensi Membebani Keuangan Negara

Sabtu, 25 September 2021 – 16:02 WIB
Kebijakan dan program pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Foto tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PPP Anwar Idris mengatakan pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT, yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil.

Menurutnya, harga Energi Baru Terbarukan (EBT) yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah.

BACA JUGA: Ayu Ting Ting Pernah Telan Cicak Hingga Hobi Makan Butiran Pasir Tembok

"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujar Anwar dalam Seminar Fraksi PPP DPR RI bertajuk Menyoal Subsidi Listrik dalam RUU EBT, Kamis (23/9).

Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.

BACA JUGA: Hari Tani Nasional, Pupuk Indonesia Panen Buah Naga Hingga Gelar Talkshow Bareng Petani Muda

Sementara, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor juga menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik.

Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta itu boleh, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku.

BACA JUGA: Ayah Taqy Malik: Niat Saya Baik dari Awal, Dia Ingin Menikah

Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

Di tengah kondisi ini, karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.

Padahal, saat ini, PLN tengah dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan atau oversupply. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari demand baru demi menyerap listrik.

Sekadar informasi, saat ini daya mampu listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.

"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.

Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin parah ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang over supply atau berlebih.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler