jpnn.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan Bung Karno merupakan salah satu peletak dasar konsep hukum progresif.
Hal ini disampaikan Menkopolhukam dalam pidato pengukuhan Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia pada akhir Maret lalu.
BACA JUGA: Nasihat Bang Akbar untuk Partai Golkar agar Juara di Pemilu 2024
Mahfud mengatakan pidato Bung Karno dalam Sidang Pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan menginspirasi konsep hukum progresif. Konsep hukum progresif yang menekankan terciptanya keadilan substantif.
Salah satu begawan ilmu hukum Indonesia yang menekuni konsep hukum progresif, yaitu profesor Satjipto Rahardjo. Saya beruntung pernah mengikuti kuliah umum bersama sang begawan.
BACA JUGA: Bawaslu Dukung Puan Soal Efektivitas dan Efisiensi Anggaran Pemilu
Kala itu, saya sedang mengikuti kompetisi peradilan semu tingkat nasional di Universitas Diponegoro Semarang. Meski dalam kondisi sakit aura progresif dalam sosok Profesor Tjip sangat kentara.
Saya pun mengoleksi buku-buku karya Prof Tjip. Kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo (Rahardjo, 2006: 116).
BACA JUGA: Erick Thohir Dinilai Layak Jadi Alternatif Capres Pemilu 2024
Inspirasi hukum progresif adalah paradigma aksi, bukan peraturan belaka. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada.
Di sini semangat memberikan keadilan kepada rakyat dirasakan amat kuat. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menggugat makna keadilan.
Singkat kata, kita tak ingin menjadi tawanan sistem dan undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.
Dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan. Sejak hukum modern memberi peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur atau tata cara dalam proses hukum, perburuan terhadap keadilan menjadi sangat rumit.
Pengalaman saya sebagai koordinator sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) di Bawaslu Kota Jakarta Utara membuktikan tesis itu secara empirik.
Gakkumdu terdiri dari tiga matra institusi besar, yakni Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Gakkumdu memiliki tugas spesifik menangani khusus perkara tindak pidana pemilu. B
isa kita bayangkan perkara pidana biasa saja rumitnya setengah mati, apalagi perkara pidana pemilu yang memiliki tekanan politis.
Berdinamika bersama penyidik dan jaksa di Gakkumdu bukan perkara mudah. Mereka memiliki segudang pengalaman dan jam terbang tinggi. Saya tentu harus cerdik dan piawai dalam meyakinkan mereka.
Andaikan, saya tidak memiliki paradigma aksi progresif, tentu mudah menyerah dan kalah dalam menegakkan keadilan pemilu. Apalagi, dalam konteks penegakan hukum pidana pemilu biasanya tekanan politisnya juga sangat tinggi.
Penegakan hukum dalam praktik tidak terlepas dari intervensi politik. Menjadi pelik ketika hukum berhadapan dengan kekuatan politik kekuasaan.
Selain itu, sistem fast track dalam penyelesaian hukum pemilu membuat penyelesaian masalah hukum pemilu sangat singkat.
Padahal, tidak semua jenis perkara hukum pemilu dapat diselesaikan secara cepat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, seperti perkara pidana pemilu.
Dalam konteks ini, banyak perkara pidana pemilu yang pada akhirnya berhenti di tengah jalan karena terbentur persoalan limitasi waktu untuk pengumpulan alat bukti. Karena itu, daya tahan dan spirit hukum progresif sungguh menjadi inspirasi dan bintang penuntun dalam menegakkan keadilan pemilu.
Selama pemilu 2019 lalu, Gakkumdu Bawaslu Kota Jakarta Utara bekerja secara solid. Gakkumdu telah memproses perkara tindak pidana pemilu di wilayah hukum Jakarta Utara, antara lain perkara politik uang, kampanye di tempat ibadah dan tindak kekerasan kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara.
Dengan pencapaian tersebut Pimpinan Bawaslu memberikan Bawaslu Award sebagai Gakkumdu Terbaik Se-Indonesia kepada Tim Gakkumdu Bawaslu Kota Jakarta Utara (Bawaslu Jakarta Utara, Polres Metro Jakarta Utara dan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara). Penghargaan tersebut sebagai wujud apresiasi dalam menegakkan keadilan pemilu.
Keadilan merupakan keutamaan politik yang paling tua, sudah dicita-citakan dan diperjuangkan 4000 tahun lalu. Lama sekali pemikiran filosofis tentang keadilan mengikuti pemikiran mendalam Platon dan Aristoteles, dua filsuf Yunani raksasa yang begitu berbobot di abad keempat SM.
Selanjutnya, pembahasan tiga teori keadilan dari akhir abad ke-20 yang paling aktual dan paling mengangkat tantangan tuntutan keadilan dalam dunia yang semakin global, yaitu teori keadilan John Rawls, Robert Nozick dan Amartya Sen (Herry-Priyono, 2022: xv-xvi). Saya membicarakan keadilan tidak hanya secara abstrak filosofis, tetapi menempatkan tantangan keadilan dalam realitas politik-hukum pemilu di Indonesia.
Menegakkan keadilan pemilu tidak sama dengan memancangkan sebuah papan nama dan bim salabim semuanya selesai.
Itu baru awal dari pekerjaan besar membangun sebuah proyek raksasa yang bernama keadilan pemilu. Tanpa memahaminya sebagai demikian, kita sebagai penegak hukum pemilu akan mengalami kekecewaan, bahkan mungkin rasa frustasi.
Dengan demikian, menyosong pemilu 2024 ini sejak dini kita perlu bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan yang mulia ini.
Hukum pemilu progresif adalah proses yang sarat dengan compassion, istilah Jawanya gereget. Inspirasi hukum progresif akan menolong kita dalam menegakkan keadilan pemilu di masa depan.(***)
Penulis adalah Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara, Alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI & Extension Course Program Filsafat STF Driyarkara
Redaktur & Reporter : Friederich Batari