jpnn.com, JAKARTA - Kepala Departemen Pengawas IKNB I B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Juwanto mengatakan tingkat penetrasi industri asuransi nasional masih tergolong rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan sebagainya.
Kondisi ini masih menjadi tantangan yang harus dijawab oleh para pelaku industri asuransi, sekaligus juga peluang untuk dimaksimalkan ke depan dengan berbagai inovasi.
BACA JUGA: Menko Airlangga Minta Bu Sri Mulyani Cairkan THR PNS H-10
“Dari sini kita bisa lihat secara perlahan pelaku insurance technology (insurtech) mulai mengisi peluang ini dalam dua sampai tiga tahun belakangan. Tentu ini hal yang bagus dan perlu didukung oleh semua pihak. Tentunya, (praktik insurtech) ini dapat diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang telah memiliki ijin, seperti lembaga piala asuransi dan lain sebagainya,” ujar Heru dalam Webinar Insurtech.
Sepanjang 2020 lalu, Heru mencatat total nilai premi asuransi yang mampu dibukukan oleh para pelaku insurtech dengan menggandeng perusahaan asuransi sebesar Rp811,71 miliar, atau setara dengan 1,06 persen dibanding keseluruhan nilai premi yang dibukukan industri asuransi secara nasional.
BACA JUGA: Sunan Kalijaga: Belum Tahu Siapa Saya, sok Gaya Preman Sama Gue
Data tersebut membuktikan peran insurtech ke depan tak lagi bisa dipandang sebelah mata.
Bahkan membawa harapan baru dalam upaya mendongkrak penetrasi industri asuransi di Tanah Air.
BACA JUGA: Cara Mudah Menurunkan Kadar Kolesterol
“Sejauh ini kami melihat para pelaku insurtech di Indonesia masih cenderung berfokus pada kinerja distribusi dan penjualan produk asuransi dengan bekerjasama dengan perusahaan asuransi. Padahal ada peluang lain yang jauh lebih besar dan bisa digarap, yaitu turut berkontribusi dalam menciptakan varian produk-produk baru asuransi yang inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman,” papar Heru.
Sebagai contoh, pemanfaatan perkembangan teknologi saat ini berupa penggunaan Artificial Intelligence (AI), teknologi smart contract, big data analytics hingga blockchain menurut Heru bisa mulai dilirik oleh para pelaku insurtech untuk dapat menghasilkan produk asuransi yang lebih efisien dan lebih bisa diterima pasar.
“Dengan smart contract, misalnya, proses klaim bisa dilakukan secara otomatis, dengan term and condition yang sudah disepakati sebelumnya. Teknologi AI juga bisa diandalkan untuk melihat apakah proses klaim itu sudah benar-benar sesuai. Dengan begitu proses klaim bisa jauh lebi efisien dibanding kondisi saat ini yang masih sangat manual dan tentu biayanya jadi sangat mahal,” ungkap Heru.
Berkaca pada berbagai peluang itu, Heru menyatakan ke depan OJK akan mendukung pengembangan insurtech guna ikut memaksimalkan penetrasi pasar asuransi di Indonesia.
Namun, Heru menegaskan masalah perlindungan konsumen dan azas keadilan tetap akan menjadi hal utama yang bakal dipegang teguh oleh OJK dalam meregulasi dan menjaga keseimbangan pasar.
“Tiga hal yang menjadi poin utama kami adalah memastikan kerangka perlindungan konsumen yang memadai, memastikan kecukupan manajemen risiko oleh perusahaan insurtech dan memastikan ahar playing fields dalam industri ini tetap adil, tetap fair dan saling menguntungkan bagi seluruh pihak yang terlibat di dalamnya,” seru Heru.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lifepack Permudah Nasabah Asuransi Kesehatan Dapatkan Obat
Redaktur & Reporter : Yessy