Intelektual Stempel

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 15 Januari 2023 – 19:31 WIB
Undang-Undang Cipta Kerja. Foto: Antara

jpnn.com - Di Surabaya ada Jl Embong Malang yang dikenal sebagai bagian dari segitiga emas dengan Jl Tunjungan dan Urip Sumoharjo.

Di masa lalu di jalan itu banyak terdapat kios yang melayani pembuatan stempel. Sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, tukang-tukang stempel itu tergusur dari Jl Embong Malang.

BACA JUGA: 36 Kilogram Ganja Ditemukan di Perpustakaan SD, Pemiliknya Tak Ada yang Menyangka

Tukang stempel hanyalah bagian dari industri kecil yang mempekerjakan masyarakat menengah bawah dengan skill yang relatif rendah.

Akan tetapi, ada juga tukang stempel yang menjadi bagian dari elite sosial dan politik yang bergengsi.

BACA JUGA: Demo Buruh Tolak Perpu Cipta Kerja di Patung Kuda Kondusif

Tukang stempel macam ini tidak beroperasi di Jl Embong Malang, melainkan di tempat-tempat terhormat seperti kampus-kampus ternama.

Banyak juga tukang stempel elite ini yang bekerja di lembaga tinggi dan tertinggi negara, bahkan, ada juga tukang stempel elite ini yang bekerja untuk istana di pusat kekuasaan.

BACA JUGA: Pagi-pagi, Jokowi Tinggalkan Istana dengan Sepeda, Mau ke Mana, Pak?

Tukang stempel jenis ini bukan tukang stempel sembarang. Mereka adalah para politisi yang menjadi wakil rakyat dan duduk di gedung-gedung perwakilan rakyat.

Tukang stempel ini adalah para birokrat di birokrasi pemerintahan, dan para intelektual yang ada di kampus-kampus perguruan tinggi ternama.

Adalah Prof. Jimly Asshiddiqie yang menengarai ada intelektual tukang stempel yang kerjanya memberi legitimasi kepada apa pun kebijakan pemerintah.

Tengara ini ia lemparkan setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Tenaga Kerja beberapa waktu yang lalu.

Prof. Jimly adalah bagian dari kelas intelektual elite Indonesia. Dia menjadi ahli hukum dan menjadi guru besar bidang hukum.

Jimly pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang sangat elite dan perannya sangat strategis sebagai benteng demokrasi dan benteng konstitusi.

Jimly menengarai banyak intelektual yang tidak setia lagi terhadap tanggung jawab intelektualnya dan sudah berubah menjadi tukang stempel.

Jimly tidak menyebut nama. Akan tetapi, dalam kasus Perpu Ciptaker ini publik sudah bisa menduga siapa intelektual tukang stempel yang dimaksud oleh Jimly.

Akademisi dan aktivis demokrasi Ubaidillah Badrun lebih terbuka menuding intelektual yang dikategorikan sebagai tukang stempel itu.

Melihat berbagai pernyataan dan narasi yang muncul selama ini, Ubaidillah menilai Mahfud Mahmudin alias Mahfud MD, sebagai otak di balik terbitnya Perpu Ciptaker itu.

Artinya, ada aktor intelektual di balik lahirnya peraturan itu, dan Ubaidillah mencurigai Mahfud MD sebagai aktor intelektualnya.

Mahfud MD sudah dikenal luas sebagai intelektual. Ia menjadi guru besar hukum dan dikenal sebagai pakar ilmu tatanegara par axcellent.

Sama dengan Jimly, Mahfud juga pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi. Ketika itu Mahfud menjadi bagian dari gerakan civil society yang tidak takut mengeluarkan kritik terhadap pemerintah.

Mahfud secara rutin tampil dalam debat-debat di ruang publik dan menjadi bagian dari public conscience, kesadaran publik, yang menyuarakan sikap kritik terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Mahfud, misalnya, menjadi salah satu nara sumber rutin di Talk Show Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu oleh jurnalis senior Karni Ilyas.

ILC menjadi arena adu gagasan dan adu argumen dari dua kelompok yang berseberangan dalam menanggapi berbagai isu mutakhir.

Dalam berbagai kesempatan, Mahfud ditempatkan sebagai pembicara terakhir yang menjadi semacam gong yang banyak ditunggu.

Pandangan Mahfud selalu tajam dan kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan penyelewengan.

Karena itu, Mahfud memperoleh legitimasi sebagai intelektual publik yang kritis terhadap kekuasaan. Reputasi Mahfud naik tajam, popularitasnya pun ikut meroket.

Puncaknya, Mahfud kemudian digadang-gadang menjadi salah satu nama yang dipertimbangkan untuk menjadi wakil presiden untuk calon presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2019.

Akan tetapi, detik-detik terakhir nama Mahfud terpental dan digantikan oleh K.H Ma’ruf Amin.

Mahfud kemudian mendapat kompensasi menjadi menteri koordinator politik dan keamanan, sebuah jabatan yang sangat strategis dan menentukan dalam pengelolaan iklim demokrasi di Indonesia.

Mahfud MD sang intelektual publik diharapkan akan memberi warna yang berbeda terhadap pemerintahan Jokowi periode kedua.

Akan tetapi, Mahfud MD menjelma menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Dia menjadi bagian dari kekuasaan, dan bahkan dalam banyak kasus, menjadi benteng kekuasaan.

Kalau dulu Mahfud menjaga benteng demokrasi sekarang menjadi penjaga benteng kekuasaan.

Perpu Ciptaker ini hanya satu saja dari beberapa belied pemerintah yang dianggap merongrong demokrasi.

Publik masih ingat bagaimana Mahfud--ketika masih menjadi intelektual merdeka--begitu gigih mempertahankan eksistensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Akan tetapi, justru pada saat Mahfud menjadi menko polhukam lahir revisi undang-undang KPK yang banyak disebut sebagai pelemahan terhadap lembaga anti-rasuah itu.

Undang-undang ini dikritik secara luas dan memantik unjuk rasa besar dari berbagai kalangan.

Pemerintah tutup mata dan telinga, dan revisi undang-undang tetap disahkan. Hal yang sama terjadi pada pengesahan Undang-Undang Cipta Tenaga Kerja yang mendapat kritik luas dari berbagai elemen masyarakat.

Kasus Undang-Undang KUHP juga sama saja, pemerintah memilih adu otot melawan suara rakyat ketimbang mendengar dan menampung aspirasi rakyat.

Pemerintah boleh menepuk dada karena menang dalam beberapa kali pertarungan show down melawan tuntutan rakyat.

Sebagai intelektual yang memahami ilmu politik, Mahfud tentu paham bahwa demokrasi bisa berjalan baik kalau ada mekanisme check and balances, kontrol dan keseimbangan.

Kontrol terhadap kekuasaan dilakukan oleh civil society atau masyarakat madani, dan keseimbangan kekuasaan dilakukan melalui kekuatan legislatif yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan lembaga-lembaga peradilan.

Demokrasi akan berjalan sehat kalau mekanisme trias politika berjalan dengan seimbang.

Tiga kekuatan utama, eksekutif, legislatif, dan judikatif, harus berjalan seimbang untuk saling mengontrol.

Legislatif harus kuat dan independen supaya bisa mengontrol eksekutif, demikian juga judikatif harus independen supaya bisa mengawasi eksekutif dan legislatif.

Ini adalah rumus dasar demokrasi yang dipahami oleh mahasiswa ilmu politik semester satu.

Mahfud MD pasti sudah ‘’ngelontok’’ pemahamannya mengenai hal ini. Mahfud tahu dengan pasti bahwa DPR sekarang tidak menjalankan fungsi check and balances dengan baik.

DPR sekarang dikuasai oleh koalisi pendukung pemerintah sampai 70 persen lebih. Itulah sebabnya undang-undang apa pun yang disodorkan pemerintah langsung didok oleh DPR.

Perpu Ciptaker sekarang sedang menunggu pengesahan dari DPR. Tidak perlu bertaruh, semua pasti tahu bahwa DPR pasti akan memberikan stempel persetujuan.

Kemana suara para intelektual itu? Mereka sudah bersuara, tetapi hilang di kegelapan malam dan hanya menjadi a cry in the darak, teriakan di kegelapan.

Sementara itu, intelektual tukang stempel punya suara yang lebih keras membela dan mempertahankan kekuasaan.

Yusril Ihza Mahendra menjadi bagian dari intelektual yang disebut Jimly Asshiddiqie sebagai tukang stempel itu.

Yusril ada di barisan terdepan pembela Perpu Ciptaker. Beberapa intelektual menganggap Jokowi layak di-impeach oleh DPR karena melanggar konstitusi.

Yusril menjadi tameng Jokowi dan mengatakan bahwa perpu sudah berjalan sesuai prosedur, dan tidak ada alasan apa pun untuk meng-impeach Jokowi.

Rezim Jokowi terlihat begitu digdaya sekarang ini. Ultimatum pengunjuk rasa yang akan melakukan pembangkangan sosial, jika perpu tidak dicabut, sama sekali tidak digubris.

Rezim sudah bisa mengukur kekuatan oposisi, dan rezim sudah menguasai semua alat kekuasaan untuk mematahkan oposisi.

Para intelektual tukang stempel itu tidak mungkin lupa bahwa kekuatan represif sehebat apapun tidak akan bisa melawan kesadaran dan kekuatan rakyat.

Rezim Orde Lama jatuh oleh kekuatan rakyat dan Rezim Orde Baru juga jatuh karena kekuatan rakyat.

Para intelektual stempel itu pasti pernah membaca Milan Kundera, bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. (**)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler