Invasi Rusia Membelah Gereja Ortodoks, Patriark Kirill Jadi Musuh Bersama

Selasa, 15 Maret 2022 – 06:14 WIB
Pemimpin Gereja Ortodoks Rusia Patriark Kirill (kanan) dan Presiden Vladimir Putin dalam sebuah acara di Moskow pada 20 November 2021. Foto: MIKHAIL METZEL / SPUTNIK / AFP

jpnn.com, KIEV - Restu penuh Patriark Kirill untuk invasi Rusia ke Ukraina telah memecah Gereja Ortodoks di seluruh dunia.

Perbedaan pandangan politik telah melepaskan pemberontakan internal yang menurut para ahli belum pernah terjadi sebelumnya.

BACA JUGA: Jubir Putin Tegaskan Militer Rusia Tak Butuh Bantuan China

Kirill, 75, sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, melihat perang sebagai benteng melawan Barat yang dia anggap berakhlak bobrok, terutama karena menoleransi homoseksualitas.

Analis menyebut Patriark Kirill dan Putin berbagi visi "Russkiy Mir", atau "Dunia Rusia", yang menghubungkan persatuan spiritual dan perluasan wilayah yang ditujukan ke bagian-bagian bekas Uni Soviet.

BACA JUGA: China Diduga Persenjatai Rusia di Ukraina, Zhao Lijian Terusik

Jika Putin menganggap invasi sebagai bagian restorasi politik, maka Kirill melihatnya sebagai perang salib.

Namun sang patriark telah memicu reaksi keras di dalam negeri maupun dari gereja-gereja yang terkait dengan Patriarkat Moskow di luar negeri.

BACA JUGA: Hari ke-19 Invasi, Erdogan Masih Klaim Bisa Mendamaikan Rusia dan Ukraina

Dari 260 juta orang Kristen Ortodoks di dunia, sekitar 100 juta berada di Rusia.

Di Rusia, hampir 300 anggota Gereja Ortodoks dari kelompok yang menamakan diri Imam Rusia untuk Perdamaian menandatangani surat yang mengutuk perang di Ukraina.

"Rakyat Ukraina harus membuat pilihan mereka sendiri, bukan di bawah todongan senjata, tanpa tekanan dari Barat atau Timur," bunyi tulisan itu, merujuk pada jutaan orang di Ukraina yang kini terpecah antara Moskow dan Kyiv.

Di Amsterdam, perang meyakinkan para imam di paroki Ortodoks St. Nicholas untuk berhenti mendoakan Kirill dalam kebaktian.

Seorang uskup Rusia di Eropa Barat sempat mencoba mengubah pikiran mereka tetapi paroki memutuskan hubungan dengan Patriarkat Moskow, menyebut keputusan itu sebagai "langkah sulit yang diambil dengan rasa sakit di hati kami".

"Kirill telah mendiskreditkan Gereja," kata Pendeta Taras Khomych, dosen senior teologi di Liverpool Hope University dan anggota Gereja Katolik Ritus Bizantium Ukraina.

"Lebih banyak orang ingin berbicara di Rusia tetapi takut," katanya kepada Reuters dalam wawancara telepon.

Ukraina memiliki sekitar 30 juta penganut Ortodoks, yang terbagi antara Gereja Ortodoks Ukraina dari Patriarkat Moskow (UOC-MP) dan dua Gereja Ortodoks lainnya, salah satunya adalah Gereja Ortodoks Ukraina autocephalous, atau independen.

Kyiv Metropolitan (Uskup Agung) Onufry Berezovsky dari UOC-MP meminta Putin untuk "segera mengakhiri perang saudara".

Metropolitan UOC-MP lainnya, Evology, dari kota timur Sumy, mengatakan kepada para imamnya untuk berhenti berdoa untuk Kirill .

Kirill, yang mengklaim Ukraina sebagai bagian tak terpisahkan dari yurisdiksi spiritualnya, telah memutuskan hubungan dengan Bartholomew, Patriark Ekumenis, yang berbasis di Istanbul.

"Beberapa Gereja sangat marah dengan Kirill atas posisinya dalam perang sehingga kita menghadapi pergolakan dalam Ortodoksi dunia," kata Tamara Grdzelidze, profesor Studi Agama di Ilia State University di Georgia kepada Reuters.

Pemimpin Ortodoks lainnya yang mengkritik perang termasuk Patriark Theodore II dari Alexandria, Patriark Daniel dari Rumania dan Uskup Agung Leo dari Finlandia.

Pendirian Kirill juga telah menciptakan jurang pemisah antara Gereja Ortodoks Rusia dan gereja-gereja Kristen lainnya.

Penjabat Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia (WCC), Pendeta Ian Sauca, menulis kepada Kirill meminta dia untuk "campur tangan dan menengahi dengan pihak berwenang untuk menghentikan perang ini".

Sayangnya, Kirill menjawab dengan menyalahkan Barat yang telah memusuhi Rusia dan menempatkan pasukan di dekat perbatasan negara tersebut.

Dia juga menuding Barat terlibat dalam strategi geopolitik skala besar untuk melemahkan Rusia.

Pendirian Kirill yang mendukung invasi Rusia juga telah merusak hubungan dengan Vatikan.

Pada tahun 2016, Paus Fransiskus menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma pertama yang bertemu dengan pemimpin Ortodoks sejak perpecahan besar sekitar satu milenia sebelumnya.

Pertemuan kedua yang Francis dan Kirill katakan ingin mereka selenggarakan tahun ini sekarang hampir tidak mungkin terjadi, kata para ahli. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler