Ding, seorang tukang listrik asal Tiongkok menceritakan bagaimana ia melihat rekan kerjanya meninggal.
Sebuah crane terbakar dan bekerja selama "175 hari berturut-turut" selama 18 bulan di dua lokasi pertambangan nikel di Indonesia.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Evakuasi Warga Gaza ke Mesir Berhenti karena Serangan Israel
Apa yang dilihatnya memicu sikap kritisnya terhadap perusahaan Tiongkok tempat dia bekerja.
"Ada pepatah kuno Tiongkok yang mengatakan uang membuat iblis bekerja," kata Ding.
BACA JUGA: Nilai Investasi Wallet Crypto & Lending Diprediksi Bakal Cerah di Industri Web3 Indonesia
"Selama kamu punya uang, kamu bisa saja melanggar hukum di Indonesia."
Pria berusia 42 tahun ini, yang meminta nama belakangnya tidak dimuat dalam artikel ini, bekerja sebagai tukang listrik di dua perusahaan nikel di Sulawesi antara tahun 2017 dan 2020.
BACA JUGA: 1000 Quanzhou
Meski sekarang ia sudah tinggal di Amerika Serikat, Ding mengatakan masih berhubungan dengan mantan rekannya di industri nikel.
"[Tempat kerja] masih sama, sama persis seperti dulu," ujarnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia saat ini sedang menyelidiki kondisi para pekerja industri nikel di Indonesia dan berencana untuk segera merilis hasil temuan mereka.
Komisaris Anis Hidayah mengatakan "kurangnya perlindungan terhadap tenaga kerja" baik bagi pekerja lokal maupun asing yang sebagian besar berasal dari Tiongkok.
Indonesia menjadi penambang dan penyulingan nikel terbesar di dunia, berkat investasi di Tiongkok yang bernilai miliaran dolar, setelah pemerintah melarang ekspor mineral yang belum diolah pada tahun 2014.
Industri nikel di Indonesia sebagian besar mengolah nikel menjadi baja tahan karat.
Namun banyak perusahaan yang beralih ke pemurnian bijih nikel untuk baterai kendaraan listrik.
Sebagian besar cadangan nikel Indonesia terletak di pulau Sulawesi, yang juga merupakan rumah bagi dua pusat industri nikel yang sudah mapan.
Kawasan Industri Morowali Indonesia (IMIP) di Sulawesi Tengah dimiliki oleh raksasa baja tahan karat Tsingshan Holding Group asal Tiongkok dan Bintang Delapan Group milik Indonesia.
Di Morosi, Sulawesi Tenggara, beberapa operator pemrosesan nikel termasuk Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan Gunbuster Nickel Industry (GNI) dimiliki oleh perusahaan Tiongkok bernama Jiangsu Delong Nickel Industry.Kebanyakan yang meninggal adalah pekerja Indonesia
Serikat pekerja, pengawas pertambangan, dan organisasi non-pemerintah lainnya di Indonesia sudah memperingatkan masalah-masalah hak dan keselamatan pekerja selama beberapa tahun.
Organisasi nirlaba Trend Asia baru-baru ini menghitung jumlah kematian yang dilaporkan di lokasi pertambangan nikel selama delapan tahun terakhir dan menemukan kebanyakan yang tewas adalah pekerja Indonesia.
Manajer penelitian Zakki Amali mengatakan analisis laporan berita menemukan 53 orang tewas dalam kecelakaan kerja antara tahun 2015 dan 2022. Empat puluh di antaranya adalah warga lokal dan 13 orang Tiongkok.
Zakki mengatakan jumlah kematian sebenarnya bisa jauh lebih tinggi karena pemerintah belum memberikan data resmi mengenai kematian pekerja.
"Saya kira data tersebut hanyalah puncak gunung es," ujarnya.
"Saya yakin [pemerintah] mempunyai datanya tetapi tidak bersedia membagikannya kepada publik karena mereka ingin menjaga agar investasi nikel tetap terlihat baik bagi dunia."
"Bagi kami, ini adalah kurangnya transparansi."
ABC sudah menghubungi Kementerian Tenaga Kerja untuk memberikan tanggapan.
Korban jiwa baru-baru ini termasuk Nirwana Selle yang berusia 20 tahun.
Ia "terbakar sampai mati" setelah kebakaran di pabrik peleburan nikel pada Desember 2022.
Bulan September lalu, pekerja lain yang dipekerjakan oleh Gunbuster Nickel Industry, meninggal setelah "ledakan dalam proses pendinginan nikel", menurut pernyataan perusahaan.
Perusahaan mengatakan penyelidikan sedang dilakukan.
"Perusahaan berharap kesadaran akan pentingnya memahami keamanan dan keselamatan kerja, khususnya dalam kondisi darurat, agar terus ditingkatkan bagi setiap pekerja, sehingga hal seperti ini tidak terulang kembali," demikian pernyataan tersebut.'Mengalami ancaman dan intimidasi'
Laporan tahun 2022 yang diterbitkan oleh Tiongkok Labour Watch yang berbasis di New York berjudul 'Trapped: The Belt and Road Initiative's (BRI) Chinese Workers' mengidentifikasi serangkaian masalah yang dihadapi oleh pekerja Tiongkok di industri nikel Indonesia.
Laporan tersebut, berdasarkan survei terhadap 333 pekerja asal Tiongkok, termasuk wawancara yang dilakukan terhadap 53 pekerja, mengatakan permasalahan yang ada termasuk perekrutan yang menipu, menahan dokumen identitas, pemotongan gaji, dan pekerja yang bekerja terus menerus tanpa hari libur.
Laporan tersebut menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok sudah menginvestasikan lebih dari US$30 miliar dalam rantai pasokan nikel Indonesia "menjadikannya salah satu proyek andalan BRI yang terbesar di Asia Tenggara".
Seorang peneliti Tiongkok Labour Watch di Indonesia, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan "banyak kondisi yang tidak berubah" bagi pekerja asal Tiongkok yang bekerja di industri nikel saat ini.
Sebagian besar paspor pekerja Tiongkok "ditahan" oleh majikan mereka ketika mereka tiba di Indonesia, jelas peneliti tersebut, dan pekerja di kawasan industri yang lebih besar tinggal di dalam lokasi serta tidak bisa meninggalkan taman tersebut tanpa izin.
"Peraturan perusahaan yang membatasi pergerakan pekerja, itu adalah indikator yang sangat… jelas mengenai kerja paksa."
Peneliti mengatakan para pekerja Tiongkok takut untuk berbicara secara terbuka tentang kondisi kerja mereka karena takut akan ancaman dan hukuman.
Sekelompok lima pekerja Tiongkok yang bekerja di dua lokasi pemrosesan nikel berbeda mengajukan pengaduan ke Komas HAM bulan Februari lalu.
Airlangga Julio, pengacara yang mewakili kelompok tersebut, mengatakan para pekerja tersebut menuduh paspor mereka ditahan, mereka tidak dapat bepergian dengan bebas ke luar, dan mereka harus bekerja lebih dari 12 jam hampir setiap hari.
"Tidak ada hari libur, tidak ada hari istirahat, mereka tetap bekerja pada hari Sabtu dan Minggu, dan kalau lagi hari libur di Indonesia," ujarnya.
"Mereka juga menjadi sasaran ancaman dan intimidasi."
Para pekerja memberikan video yang mereka ambil di dalam dua lokasi pemurnian nikel kepada Airlangga, satu dari Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan yang kedua di pabrik peleburan Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Sulawesi Tenggara.
Airlangga mengatakan kedua video tersebut menunjukkan kondisi kerja yang berbahaya, termasuk orang-orang yang terpapar asap tebal, serta mereka "tidak memiliki peralatan yang memadai untuk menghadapi situasi kerja yang buruk".
IMIP tidak menanggapi tuduhan tersebut, namun mengatakan kawasan industri "selalu menjaga stabilitas, keamanan dan kesejahteraan pekerja asing dan pekerja Indonesia".
"Kami membuat laporan rutin mengenai ketenagakerjaan [tenaga asing] dan [tenaga Indonesia] ke Disnaker Morowali dan Kementerian Ketenagakerjaan."
Kementerian Tenaga Kerja Indonesia tidak menanggapi pertanyaan ABC tentang hak-hak pekerja dan masalah keselamatan di industri nikel untuk berita ini.
VDNI tidak menanggapi permintaan komentar.Pekerja Indonesia dibayar lebih murah
Pada bulan Februari, pekerja Indonesia berbicara kepada ABC tentang kondisi kerja yang tidak aman di industri nikel.
Adam Siola dari bagian keselamatan kerja mengatakan pada saat itu sistem kesehatan dan keselamatan di banyak perusahaan nikel tidak "berpihak pada" pekerja, dan pihak berwenang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Adam mengatakan keputusan terkait kesehatan dan keselamatan pekerja Indonesia di lokasi pabrik nikel dikendalikan oleh perusahaan Tiongkok yang memiliki lokasi tersebut.
Menurutnya pemerintah Indonesia perlu mereformasi sistem tersebut untuk meningkatkan kondisi keselamatan pekerja.
"Ketika tim keselamatan [pemerintah] menganalisis potensi bahaya di lapangan dan suatu pekerjaan dianggap berisiko tinggi, pekerjaan tersebut harus dihentikan sementara sementara kami mengelola aspek pengendaliannya," kata Adam.
"Tetapi kami tidak dapat melakukan itu karena kami dihadang oleh tim keselamatan [perusahaan] dari Tiongkok. Mereka mengatakan kami mengganggu produksi."
Ketika ABC mengunjungi sebuah pasar di Kendari, dekat lokasi operasional beberapa pabrik peleburan nikel di Sulawesi Tenggara pada bulan September, pekerja Indonesia juga mengangkat masalah upah yang lebih rendah padahal melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja asal Tiongkok.
Pada bulan Februari, Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kabupaten Morowali membenarkan penduduk lokal dan asing mendapat gaji berbeda untuk peran yang sama.
Sultan Sutrismat, yang pernah bekerja di perusahaan pengolahan nikel hingga baja tahan karat di Morosi, mengatakan perbedaan gaji tersebut cukup besar dan berharap sistemnya diubah agar lebih setara.
VDNI dan anak perusahaan lain dari Jiangsu Delong Nickel Industry mempekerjakan hampir 20.000 pekerja lokal antara tahun 2018 dan 2022, menurut pemerintah setempat.
Pekerja Tiongkok diperbolehkan keluar masuk tempat kerja tersebut, yang tidak seketat kawasan industri seperti IMIP, menurut peneliti Tiongkok Labor Watch.
ABC telah menghubungi Jiangsu Delong Nickel Industry dan Tsingshan, pemilik IMIP, untuk memberikan komentar.
Kehadiran ribuan pekerja menciptakan peluang usaha baru bagi warga sekitar.
Hijratul Jannah yang berusia sebelas tahun bekerja bersama ibunya menjual buah-buahan kepada pekerja di luar lokasi PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Morosi, dan sudah belajar bahasa Mandarin sambil bekerja.
"Mereka [pekerja Tiongkok] paling suka durian, tapi kalau tidak ada… [mereka memilih] semangka karena siang hari panas," kata Hijratul.
"Saya suka karena ada perusahaan di sini, jadi ramai."
Ibunya, Fatiamah, mengatakan toko buah-buahan memberikan penghasilan yang sangat dibutuhkan keluarganya.
"Waktu saya masih petani, kadang untung kadang tidak. Kalau gagal, utang terus," tuturnya.
"Syukurlah ada perusahaan ini sekarang."
Salah satu pelanggan toko buah Fatiamah adalah Yubing Chen, pekerja Tiongkok yang sudah bekerja di OSS selama lima tahun.
Seperti pekerja lain dari Tiongkok yang memadati lokasi pasar, Yubing menolak untuk diwawancarai oleh ABC.
Bagi Yubing, yang akhirnya meninggalkan pekerjaannya di Indonesia tanpa paspor dan mendapatkan paspor baru di kedutaan, perusahaan-perusahaan Tiongkok di industri nikel di Indonesia memandang pekerja sebagai sumber daya yang dapat dibuang.
"Pekerja disamakan dengan bijih, mereka menggali 'nikel' dan kita adalah 'bijih manusia' mereka, yang keduanya tidak ada nilainya setelah digali dan dikonsumsi," ujarnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pj Gubernur Akmal Harap Investor Kalimantan Bisa Merespons Tawaran Investasi di IKN