Menurut pakar terorisme, Sidney Jones, konflik melawan kelompok ISIS di Suriah dan Irak bisa terbukti menjadi tempat pelatihan bagi gelombang baru dari pembom domestik Indonesia.

Komentar Sidney itu muncul ketika film dokumenter lokal berusaha membendung warga Indonesia untuk pergi ker Suriah, dengan menayangkan kekecewaan salah satu mantan perekrut ISIS yang pernah bekerja untuk kelompok itu.

BACA JUGA: Politisi Anti-Islam Asal Belanda Akhirnya Peroleh Visa Australia

Menurut Sidney, yang adalah Kepala Institut Analisis Kebijakan Konflik, ratusan orang Indonesia dilaporkan telah menjawab panggilan ISIS.

"Saya pikir jumlahnya, mungkin 250," sebutnya.

BACA JUGA: Warga Canberra Konsumsi 23kg Gula Per Tahun dari Minuman Ringan


Ratusan warga Inonesia dilaporkan telah menjawab panggilan kelompok ISIS.

Ia menjelaskan, hal itu menjadi ancaman besar bagi Indonesia, di saat gerakan teroris dalam negeri bisa melihat adanya revitalisasi ketika ratusan orang itu kembali.

BACA JUGA: Es Krim Rasa Tolak Angin Kini Bisa Ditemukan di Canberra

"Jika orang-orang itu pulang dengan pengalaman tempur - pengalaman berjuang di Suriah dan Irak, ideologi baru, lebih banyak pengetahuan tentang senjata dan pembuatan bom dan sebagainya - mereka bisa merevitalisasi gerakan teroris yang sangat tak mengesankan di Indonesia," utara Sidney.

Dalam pergerakannya, Sidney menyebut, ISIS tak hanya ingin merekrut orang-orang muda. Nyatanya, propaganda juga menarget kelompok keluarga.

"ISIS memiliki daya tarik tambahan dengan menjadi negara Islam murni - pengalaman Islami besar yang mereka bisa turut ambil bagian dan itulah salah satu alasan mengapa banyak keluarga yang tertarik. Itu faktor ketertarikan yang nyata," ungkapnya.

Mantan anggota ISIS berbagi cerita

Mereka yang ditarget tertarik dengan segala macam janji.

Pedagang kaki lima, Junaedi, direkrut oleh Abu Jandal, salah satu dari dua orang Indonesia terkuat di Suriah.

Junaedi menceritakan kisahnya dalam sebuah film dokumentasi tentang betapa jaringan ISIS meradikalisasi anak muda Indonesia. Film itu dibuat oleh Noor Huda Ismail, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk memalingkan generasi itu dari terorisme.

Noor Huda berhubungan dengan banyak orang Indonesia yang telah bergabung ISIS di Suriah dan beberapa di antaranya telah kembali.

"Abu Jandal menjanjikan bahwa ISIS akan membayar utang [Junaedi]. Itu berarti ia akan menerima gaji mungkin sebesar 250 dolar (atau setara Rp 2,5 juta)," katanya.

"Mungkin bagi orang Australia itu tak seberapa, tapi untuk orang Indonesia, itu lumayan banyak," tambahnya.

Realitas yang Junaedi temukan di Suriah sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan.

"Sebelum Anda tiba di sana, Anda memiliki visi yang berbeda dari tempat itu sendiri. Anda pikir semuanya akan baik - sampai Anda mengalaminya sendiri. Saya terkejut ketika saya pertama kali tiba ... tidak ada listrik," tutur Junaedi.

Gaji bulanan sebesar Rp 2,5 juta yang dijanjikan turun menjadi Rp 600 ribu.

"Itu pengingkaran janji yang dilakukan ISIS," kata Noor Huda.

Ia mengatakan, anggota yang kecewa seperti Junaedi sangat berharga karena mereka bisa digunakan untuk mencegah warga Indonesia lainnya dari bergabung dengan ISIS.

"Mereka bisa mengatakan, 'lihat, pada dasarnya apa yang dikatakan ISIS tidak benar. Saya sempat di sana, mengerikan hidup di sana. Tolong jangan pergi'," kemuka Noor Huda.

Dalam beberapa tahun terakhir, ia telah menyaksikan betapa jaringan terorisme lokal Indonesia telah dipudarkan oleh ISIS.

"Ini adalah jenis baru dari kelompok teroris di Indonesia, individu yang tak memiliki akses ke kelompok teroris terkenal seperti Jemaah Islamiyah," kata Noor Huda.

Ia menerangkan, "Di masa lalu, ketika polisi Indonesia menangkap satu orang, mereka bisa dengan mudah melacak karena mereka terkait dengan salah satu kelompok tertentu. Sekarang mereka datang dari mana-mana."

BACA ARTIKEL LAINNYA... IMF Waspadai Perubahan Basis Perekonomian China

Berita Terkait