Islam Menebar Kedamaian

Oleh : Djoko Slamet Sunarto (Sie Kiem San)*

Selasa, 23 Juli 2013 – 08:02 WIB
SEJAK resmi menjadi muslim pada 1989, saya merasa seperti terlahir kembali. Seperti ada energi positif yang menyelinap dalam hati sanubari saya. Yaitu, kedamaian. Ya, setiap kali berzikir, rasa damai dan tenang itulah yang menyelimuti. Saya meyakini sepenuhnya firman Allah SWT yang menyatakan, "ala bizikrillahi tatmainnal qulub…" Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang (QS Ar Rad: 28).

Setiap kali dilanda gelisah, zikir adalah penangkalnya. Zikir dalam pengertian yang luas. Setiap kali mengucapkan lafaz "Laa Ilaaha Illallah", saya sering kali tertegun. Jika diresapi maknanya bahwa hanya Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah SWT. Semua yang sering dituhankan manusia tidak berarti. Harta dan kekuasaan misalnya. Semua tidak akan kekal. Bahkan, jika tidak pandai bersyukur, keduanya bisa menjadi penyakit bagi kita. Sudah banyak contohnya.

Kita juga bisa berzikir dengan ayat-ayat kauniyah. Semua makhluk yang tercipta di hamparan semesta ini adalah tanda kekuasaan Allah SWT yang tak terhingga. Jika kita sudah merasa kecil, lantas patutkah menyombongkan diri? Sebagai mualaf, konsep hidup seperti ini baru bagi saya.

Dengan kondisi itu, saya tidak pernah ragu lagi untuk menyatakan bahwa saya adalah muslim. Apalagi sejak berikrar untuk memeluk agama ini, saya menemukan banyak mukjizat yang tak bisa dinalar akal sehat manusia. Mungkin pembaca menganggapnya tendensius. Tetapi, inilah pengalaman spiritual yang saya alami.

Itu terjadi ketika saya menunaikan ibadah haji pada 2002. Sebelumnya, sejak 2001, saya divonis dokter mengalami batu ginjal. Untuk menghilangkannya, saya dianjurkan melakukan operasi. Jika tidak, batu ginjal itu akan membesar dan bisa merenggut nyawa saya. Pada pertengahan 2002, dokter kembali menyarankan untuk melakukan operasi. Tetapi, saya memutuskan untuk nekat melakukan laku spiritual tersebut.

Alhasil, selama di perjalanan, saya merasa sangat tersiksa. Rasa sakit semakin mendera. Bahkan, dalam perjalanan Surabaya-Jakarta, saya terpaksa berpisah dengan rombongan. Saya harus dirawat sebelum melanjutkan perjalanan. Saya hampir putus asa karena merasa tidak kuat lagi. Namun, saya tetap nekat.

Tiba di Baitullah, rasa sakit menjadi-jadi. Namun, saya merasa sangat bersyukur. Setelah menaruh barang di penginapan, hari itu saya berjalan menuju Kakbah. Meski sambil menahan sakit, aneh rasanya, saya seperti didorong atau dipapah sehingga merasa ringan. Di depan Kakbah saya menangis seperti anak kecil. Setelah salat, saya menuju toilet untuk buang air kecil.

Di situlah, sesuatu yang aneh terasa keluar bersama air seni. Tetapi, saya tidak tahu benda apa itu karena tidak terlihat. Kecuali yang terlihat adalah air seni. Keluar dari kamar kecil, tubuh merasa enteng. Tanpa beban. Rasa sakit yang mendera lenyap sama sekali. Saya sangat bersyukur sehingga bisa beribadah dengan khusyuk.

Tiba di tanah air, saya kembali memeriksa kondisi ke dokter spesialis. Subhanallah, ternyata batu ginjal dinyatakan tidak ada lagi. Dokter yang menangani juga heran dengan kondisi tersebut. Bagi saya, itu adalah mukjizat yang tidak pernah ternilai harganya. Kini, saya hanya bisa bersyukur dan beribadah dengan ikhlas.

Sekarang hati saya mudah sekali tersentuh. Damai dan tenang ketika mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran. Meski saya tidak paham artinya, hati rasanya connect dengan ayat-ayat suci itu. Sehingga, gelisah karena berbagai masalah pun hilang. Kalau sudah begitu, rasanya saya menjadi orang yang sangat merdeka.

Sebagai orang yang baru mengenal Islam, saya berharap agama ini sebagai penebar kedamaian. Bukan kebencian. Melihat berbagai aksi teror yang mengatasnamakan agama, tentu saya merasa miris. Yang saya tahu, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Islam cinta damai, kebersamaan dan toleransi kepada umat yang lain.

Menurut saya, beragama tidak boleh mengedepankan egoisme. Karena merasa yang paling benar, orang lain dianggap salah.

Menurut saya, kita harus meniru Laksamana Cheng Ho. Dalam setiap ekspedisinya, Cheng Ho selalu bisa diterima semua kalangan. Termasuk saat beliau masuk ke wilayah Indonesia. Cheng Ho selalu mengedepankan sikap ramah, santun, dan saling menghormati.

Setiap kali singgah ke negara lain, Cheng Ho tidak pernah melakukan penaklukan. Tetapi, dakwah yang beliau tonjolkan adalah syiar. Cheng Ho lebih memilih menjalin hubungan yang harmonis ketimbang berperang. Padahal, penaklukan sangat mungkin dilakukannya karena didukung dengan kekuatan militer yang tangguh. Tetapi, beliau tidak melakukannya. (mar/c6/end)

*Penulis adalah Ketua DPD PITI Surabaya
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaminan Kesehatan Sosial Perlu Sosialisasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler