RAMALLAH - Upaya Palestina untuk mewujudkan cita-citanya menjadi negara masih berliku. Pada Kamis (1/1) pemerintahan Abu Mazen alias Mahmoud Abbas memasuki babak pergulatan diplomatik baru. Amerika Serikat (AS) dan Israel berusaha keras menggagalkan niat Palestina untuk menjadi anggota Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencananya untuk mencegah ICC menerima Palestina sebagai anggota. Bersama Washington, Tel Aviv mengimbau lembaga peradilan internasional yang berbasis di Kota Den Haag, Belanda, itu agar menolak lamaran Palestina. Alasannya, Palestina bukan negara. Jadi, ICC tidak berhak menerima Palestina sebagai anggota.
'Kami harap, ICC menolak permintaan munafik Otoritas Palestina yang bukan sebuah negara, melainkan sebuah otoritas yang berhubungan dengan kelompok teroris,' terang Netanyahu dalam pernyataan resminya. Seperti AS, dia pun menyebut Hamas sebagai kelompok teroris. Saat ini, bersama Gerakan Fatah, Hamas merupakan penguasa Palestina. Kelompok radikal tersebut berkuasa atas Jalur Gaza.
Sebelum memublikasikan pernyataannya terkait dengan niat Palestina menjadi anggota ICC itu, Netanyahu menggelar pertemuan dengan para petinggi Kementerian Pertahanan Israel. Agenda utama pertemuan tersebut adalah mereaksi langkah Abbas yang pada Rabu (31/12) telah meneken proposal resmi untuk menjadikan Palestina sebagai anggota ICC.
'Israel jelas akan menghambat langkah (Palestina) untuk memaksakan kehendaknya atas kami. Itu persis seperti yang telah kami lakukan di Dewan Keamanan (DK) PBB,' tegas Netanyahu beberapa saat setelah Abbas menandatangani proposal keanggotaan ICC. Pada Rabu lalu DK PBB menolak resolusi rancangan Palestina yang berisi ultimatum agar Israel menghentikan aksi pencaplokan dan pendudukan wilayahnya.
Dalam resolusinya, Palestina mendesak Israel untuk berhenti memekarkan permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Palestina memberikan waktu 12 bulan pada Israel untuk menghentikan aksi sepihaknya tersebut. Selain itu, pemerintahan Abbas mengultimatum Israel agar memanggil pulang seluruh penduduknya dari wilayah Palestina.
Terkait dengan pembebasan wilayah Palestina dari penduduk Israel tersebut, Abbas memberikan waktu sampai akhir 2017. Jerusalem Timur, menurut pemimpin 79 tahun itu, harus bersih dari Israel. Sebab, Palestina bakal menjadikan wilayah tersebut sebagai ibu kota pemerintahan. Sayangnya, langkah Palestina itu tidak mendapatkan restu DK PBB.
Menurut DK PBB, penetapan batas waktu bukan cara bijak untuk menyelesaikan sengketa abadi Israel dan Palestina. AS yang merupakan salah satu negara paling kuat dalam keanggotaan DK PBB menentang keras resolusi tersebut. Washington berharap, konflik Israel dan Palestina bisa diakhiri dengan manis di meja perundingan. Tetapi, sejauh ini perundingan damai tidak pernah menghasilkan solusi yang efektif. (AP/AFP/alarabiya/hep/c20/ami)
BACA JUGA: Jengkel Diomeli, Pria Ini Tega Penggal Kepala Ibunya
BACA ARTIKEL LAINNYA... PBB Turut Berbelasungkawa Atas Insiden AirAsia QZ8501
Redaktur : Tim Redaksi