jpnn.com, YERUSALEM - Israel pada Rabu (1/9) mengatakan rencana AS untuk membuka kembali konsulatnya di Yerusalem yang biasanya menjadi basis untuk pencapaian diplomatik dengan Palestina adalah "ide buruk" karena dapat mengacaukan pemerintahan baru Perdana Menteri Naftali Bennett.
Pemerintahan AS terdahulu yang dipimpin Donald Trump memberi sinyal dukungan atas klaim Israel bahwa Yerusalem adalah ibu kota mereka dengan memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke wilayah itu dan memasukkan konsulat ke dalam misi itu.
BACA JUGA: 240 Ribu Warga Israel Sudah Disuntik Dosis Ketiga Vaksin Pfizer, Begini Efeknya
Langkah Trump itu membuat geram rakyat Palestina yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan.
Presiden Joe Biden berjanji akan memperbaiki hubungan dengan Palestina, mendukung solusi dua negara dan mendorong pembukaan kembali konsulat.
BACA JUGA: Israel Murka, Kirim Pesawat Tempur, Ledakkan Situs Hamas di Gaza
Penutupan konsulat terjadi sejak 2019 dan urusan terkait Palestina ditangani oleh kedutaan besar.
"Kami rasa itu ide yang buruk," kata Menteri Luar Negeri Yair Lapid saat konferensi pers, ketika disinggung soal pembukaan kembali konsulat.
BACA JUGA: Presiden Palestina dan Menteri Pertahanan Israel Bertemu, Ini Hasil Pertemuannya
"Yerusalem adalah ibu kota berdaulat Israel dan hanya Israel, dan dengan demikian kami tidak berpikir itu ide yang bagus."
"Kami tahu bahwa pemerintah (Biden) memiliki cara pandang yang berbeda mengenai ini, namun karena itu terjadi di Israel maka kami yakin bahwa mereka mendengarkan kami secara hati-hati."
Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya, sebuah sikap yang tidak diikuti dunia internasional.
Israel merebut Yerusalem Timur, Gaza dan Tepi Barat yang mereka duduki dalam perang Timur Tengah 1967.
Bennet menentang status negara Palestina. Pembukaan kembali konsulat tersebut dapat mengguncang pemerintahan Bennett yang menyudahi jabatan panjang perdana menteri Benjamin Netanyahu pada Juni, kata Lapid.
"Kami memiliki struktur pemerintahan yang menarik namun rumit dan kami rasa ini mungkin mengacukan pemerintahan kami dan saya tidak berpikir pemerintah Amerika menginginkan ini terjadi," katanya.
Perpecahan di kalangan rakyat Palestina juga menimbulkan keraguan soal prospek diplomasi, kata Lapid.
"Saya yakin pada solusi dua negara tetapi kami harus mengakui kenyataan bahwa ini mustahil untuk situasi sekarang." (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil