Isran Noor: Tak Ada Negosiasi dengan Perusahaan Inggris

Kamis, 16 Mei 2013 – 05:15 WIB
JAKARTA - Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Isran Noor tak membuka pintu negosiasi dengan Churchill Mining Plc dan Planet Mining, dua perusahaan dari Inggris. Meski menurunkan nilai gugatannya yang menuntut Pemerintah Indonesia di Badan Arbitrase Internasional dalam sidang lanjutan di Singapura, Isran tak memedulikan. Awalnya, Churchill Mining Plc menurunkan ganti rugi sebesar USD 2 Milyar atau sekitar Rp19 triliun menjadi USD 1 Milyar.

“Saat ini di Badan Arbitrase Internasional sidang pertama sudah dilakukan untuk membahas status yuridis yaitu mendengarkan pendapat pakar dan penyampaian materi baik dari penggugat maupun kita sebagai tergugat,” kata Isran disela-sela acara pembukaan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) International Trade and Investment Summit 2013 di Jakarta International Expo, Rabu (15/5).

Isran yang juga ketua umum Apkasi mengatakan penurunan tuntutan ganti rugi oleh penggugat membuktikan bahwa Churchill Mining Plc sadar akan kekeliruan yang dilakukan. Antara gugatan dan pokok masalah yang diperkarakan pada sidang yang digekar Stamford Raffles Room, Maxwell Chamber 3, Temasek Avenue #16-10, Centennial Tower, Singapura tidak berhubungan sama sekali.

“Kenapa tidak tepat? Karena yang jadi persoalaan adalah gugatan ini dilakukan oleh Churcil Mining, yang tidak memiliki korespondedsi dan tidak ada hubungan dengan Pemda Kutai timur dalam hal investasi pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kuasa Pertambangan (KP), yang dia lakukan adalah dia bekerjasama dengan perusahaan tambang lokal, secara diam-diam,” katanya.

Isran pun optimis Pemerintah Indonesia akan menang. Makanya, ia menutup pintu negosiasi karena Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sendiri sudah bertindak sesuai dengan aturan.

“Saya mau perlihatkan kepada investor dunia, bahwa negara kita memiliki peraturan.  Saya tidak ada maksud untuk menghalang-halagi investasi, justru saya ingin menjamin kepastian hukum dalam berinvestasi di Indonesia, jadi menegakan ini adalah jaminan, tanpa hukum tidak ada yang mau berinvestasi di Indonesia,” ucapnya.

Gugatan ini dipicu saat Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mencabut Kuasa Pertambangan (KP) 4 perusahaan pertambangan yang beroperasi di Kutai Timur, salah satunya adalah Grup Ridlatama karena Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah mendapatkan 4 perusahaan tersebut telah melanggar berbagai peraturan di Indonesia.

Pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran pemalsuan surat yang berdasarkan surat laporan audit khusus yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II Tahun 2008 , BPK mengindikasikan adanya lima Kuasa Pertambangan yang mereka temukan dilapangan adalah palsu, uraian dalam laporan BPK itu sangat jelas, salah satu alasannya karena kode penomoran yang terbalik.

Selain itu juga Kemudian ada juga pelanggaran ketentuan Kehutanan dengan adanya keterangan dari Menteri Kehutanan kepada Bupati Kutai Timur Isran Noor, yang menyatakan bahwa kegiatan perusahaan ini dilakukan diatas Kawasan Hutan Produksi, oleh karenanya Menteri Kehutanan memberikan rekomendasi kepada bupati kutai timur untuk menghentikan kegiatan dikawasan hutan produksi dan mencabut KP-KP tersebut.

Tak terima dengan tuduhan itu, 27 Agustus 2010, Grup Ridlatama menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda untuk memohon agar surat keputusan pencabutan KP dinyatakan tidak sah. Tetapi gugatan ke PTUN Samarinda itu ternyata dimenangkan oleh Bupati Kutai Timur.

PTUN Samarinda memutuskan penerbitan surat keputusan pencabutan KP milik Ridlatama Group itu tidak menyalahi hukum, begitupun dengan putusan di PTTUN dan MA dengan begitu seharusnya sudah tidak ada upaya hukum lagi bagi Grup Ridlatama untuk memasalahkan pencabutan ijin IUP yang dikuasainya.

Merasa memiliki saham 75% di Ridlatama, pada 21 Juni 2012 Churchill Minning Plc membawa masalah ini ke arbitrase internasional. Churchill menggugat pihak RI senilai USD 2 miliar (sekira Rp19 triliun), karena merasa perusahaannya ditutup secara sepihak dan tanpa ada kompensasi.

"Padahal kita tidak ada hubungannya dengan Churcill Mining, sebab berdasarkan UU no 11 tahun 1967 bahwa dalam penerbitan IUP perusahaan tersebut tidak boleh dimiliki asing seberapa kecilpun sahamnya yg ada, kecuali kontrak karya,” pungkasnya. (awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mending Bangun Papua Ketimbang Urus Kantor OPM

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler