jpnn.com, JAKARTA - Media sosial baru-baru ini diramaikan kabar soal perusahaan tambang PT Bumi Merapi Energi (BME) yang konon terancam dipailitkan.
Status pailit itu akan dimiliki PT BME jika tak ada iktikad baik untuk melunasi utang-utangnya PT Rantau Utama Bhakti Sumatera (RUBS).
BACA JUGA: Gugatan Pailit Eks Tenaga Pemasar AIA Ditolak Pengadilan Niaga
Menanggapi gugatan kepailitan terhadap PT BME, pakar hukum perdata dari Universitas Diponegoro, Siti Mahmudah mengatakan penyelesaian utang sebetulnya tak harus melalui pengadilan.
“Tergantung dari kemauan masing-masing pihak. Pihak debitor mau tidak membayar utangnya.” kata Mahmudah kepada wartawan, Selasa (1/8).
BACA JUGA: Istaka Karya Pailit, Rudi Hartono Merespons Begini, Tegas Banget
Mahmudah menjelaskan bahwa penyelesaian utang dilakukan melalui jalur litigasi dapat melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan.
"PKPU maupun kepailitan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan utang. Utang itu tetap utang selama belum dibayar, kecuali pihak yang punya utang melunaskan," tegasnya.
BACA JUGA: PKPU Bukti Kuat Nasabah Tak Ingin KSP Indosurya Pailit
Ia menambahkan bahwa penyelesaian utang antara kreditor dan debitor dapat terjadi apabila debitor mengajukan rencana perdamaian dan disetujui oleh kreditor.
Rencana perdamaian dapat diajukan debitur sebagaimana diatur di Pasal 144 UU nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Debitor pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.
“PKPU itu secara garis besar isinya restrukturisasi utang. Kalau itu tercapai berarti penyelesaian utangnya berupa restrukturisasi utang. Jangka waktu penundaan pembayaran kewajibannya 270 hari” ucapnya.
Berbeda dengan PKPU, rencana perdamaian dalam kasus kepailitan dapat diajukan kapan saja sepanjang sebelum rapat pencocokan piutang ditutup.
Oleh karenanya, debitor sebaiknya mengajukan perdamaian jika tak ingin dinyatakan pailit.
“Kalau itu tidak tercapai, maka debitor dalam kondisi pailit, dan dalam kondisi insolvensi.” jelasnya.
Mahmudah mengingatkan, akan ada akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit.
"PT sebagai subyek hukum tidak bisa lagi menjalankan operasional, sebagai obyek hukum punya harta kekayaan, harta kekayaan PT mengalami sita secara umum” katanya.
Setelah debitur dinyatakan pailit, ada tindakan yuridis, pertama pencocokan utang, para kreditur mengajukan piutang kepada kurator.
“Debitor punya hak untuk mengajukan perdamaian, debitor dan kreditor membicarakan bagaimana cara penyelesaian hutang. Kalau sudah disepakati harus di homologasikan, kalau tidak disepakati, kepailitannya berakhir disitu," katanya.
Kepailitan dan PKPU merupakan salah satu instrumen hukum yang tidak tunduk pada asas nebis in idem.
“Kalau penyelesaian utang itu melalui PKPU, maka kalau utangnya belum selesai bisa di PKPU kan kembali. Demikian juga dengan kepailitan, kalau penyelesaian utangnya belum tercapai, bisa dipailitkan kembali. Jadi, tidak ada nebis in idem, bebernya.
Mahmudah menambahkan bahwa pailit tidak selalu membuat perusahaan berakhir.
Pasalnya, masih ada tindakan yang disebut dengan rehabilitasi.
"Rehabilitasi itu bisa tercapai jika dalam pemberesan itu ada surat pernyataan dari para kreditur intinya mereka puas atas penyelesaian utang yang dilakukan oleh debitor dan perusahaan tetap dapat melanjutkan kegiatan usahanya," ungkap Mahmudah. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif