Isu Reklamasi Teluk Jakarta Senjata untuk Menghantam Jokowi

Senin, 29 Mei 2017 – 14:16 WIB
Teluk Jakarta. Foto: dok jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menyatakan, isu reklamasi Teluk Jakarta saat ini sudah terbagi menjadi dua kutub. Pertama, kubu Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta terpilih, Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung Amien Rais dan Prabowo Subianto.

Kubu kedua adalah Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Pandjaitan, yang pro kepada pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo.

BACA JUGA: Siapa Cawapres Pak Prabowo? Waketum Gerindra Bilang Begini

"Isu ini digunakan untuk menurunkan pamor Presiden Joko Widodo jelang pilpres 2019 mendatang. Dua tahun itu merupakan waktu yang singkat sehingga isu reklamasi sudah digunakan sejak sekarang ini," kata Pangi ketika dihubungi wartawan, Senin (29/5).

Menurut Pangi, isu reklamasi cukup efektif dalam pertarungan Pilkada Jakarta lalu. Hal itu terbukti dengan merosotnya elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, sehingga kalah dari Anies-Sandi.

BACA JUGA: Ini Tantangan Bagi Gatot Jika Ingin Maju Jadi Capres?

"Isu reklamasi cukup memiliki pengaruh sehingga terus berlanjut sampai sekarang ini," ucap Pangi.

Seperti diberitakan, rencana penghentian reklamasi kencang dihembuskan kubu Anies-Sandi. Belakangan Amien Rais bahkan menantang Luhut untuk beradu data tentang manfaat dari pembangunan reklamasi.

BACA JUGA: Inikah Tokoh yang Berpeluang Jadi Pesaing Jokowi pada Pilpres 2019?

Jika tidak ada manfaatnya bagi warga Jakarta, terutama para nelayan, Amien mendesak pemerintah pusat untuk tidak melanjutkan proyek tersebut.

Namun, banyak kalangan menilai penghentian reklamasi nantinya akan memunculkan dampak negatif terutama terhadap iklim investasi properti di Jakarta.

Prediksi ini semakin diperkuat dengan pernyataan anggota tim sinkronisasi Anies-Sandi, Marco Kusumawidjaja, yang menyatakan tidak akan membayar ganti rugi kepada para pengembang. Alasannya, pembangunan reklamasi dinilai menyalahi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan, sektor properti (real estat dan konstruksi) setiap tahun menyumbang rata-rata 19% dari total Produk Domestik Regional Bruto. Angka ini merupakan nilai awal saat proyek dilakukan, sehingga belum memperhitungkan dampak ikutan (multiplier effect) dari proyek properti secara keseluruhan.

Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, menyatakan langkah pemerintah baru provinsi Jakarta yang menolak memberikan biaya ganti rugi merupakan suatu bentuk kejahatan.

Sebab, pengembang sudah menginvestasikan dana besar hingga triliunan rupiah. Pembangunan pulau-pulau reklamasi juga telah memenuhi aturan yang dibuat pemerintah sendiri.

"Seharusnya biaya pembangunan yang sudah dikeluarkan pengembang bisa diganti. Ini menjadi sesuatu yang lucu ketika tanah reklamasi sudah dibangun, lalu nantinya dibangun fasilitas publik oleh pemerintah provinsi, itu namanya merampok pengembang," kata Ali.

Secara etika bisnis, menurut Ali, hal tersebut sangat tidak bagus. Padahal, pemerintah provinsi dan pengembang saling membutuhkan satu sama lain.

"Ini secara bisnis tidak fair dan akan menjadi preseden buruk. Penghentian reklamasi akan memunculkan gugatan-gugatan yang berlangsung panjang," kata Ali.

Selain itu, kebijakan tersebut akan menjadi ironi di tengah Indonesia yang baru saja menyandang predikat layak investasi (investment grade). Penghentian reklamasi hanya akan membuat investor berpikir ulang untuk menempatkan dananya di Indonesia. (rmol/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Isu Primordialisme Diprediksi Muncul di Pilpres 2019, Sangat Berbahaya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler