Italia Dipimpin Perempuan, kok Para Pemimpin Eropa Cemas?

Kamis, 29 September 2022 – 23:43 WIB
Giorgia Meloni adalah politisi dan sekaligus wartawan Italia yang sejak 2014 memimpin partai politik Fratelli d'Italia atau Persaudaraan Italia yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu Italia baru-baru ini. Dia segera menjadi perempuan pertama Italia yang menjadi perdana menteri di negeri ini. Foto: ANTARA/Wikimedia Commons

jpnn.com, ROMA - Pemimpin Partai Fratelli d'Italia atau Persaudaraan Italia Giorgia Meloni segera menjadi perempuan pertama yang menjadi perdana menteri Italia, tetapi platform politiknya membuat Italia dan Eropa khawatir.

Kemenangan koalisi kanan dalam pemilihan umum Italia belum lama ini ditanggapi beragam oleh Eropa.

BACA JUGA: Uni Eropa Memulai Pekan Diplomasi Iklim dengan Kegiatan Bersih-Bersih

Sesama pemimpin sayap kanan Eropa menyambut kemenangan Meloni dengan antusiastis, sedangkan pemimpin-pemimpin Eropa lainnya justru jatuh cemas.

"Partai itu telah berkata dan bertindak yang membuat kita harus waspada," kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dalam wawancara dengan televisi Belanda, Senin (26/9). "Tapi kita harus memberi dia kesempatan."

BACA JUGA: Kondisi Gas di Eropa Mengkhawatirkan, Harga Batu Bara Acuan Naik Lagi

Sejak platform kanan tak lagi menjadi kecenderungan politik di Italia menyusul tumbangnya Benito Mussolini menjelang Perang Dunia Kedua berakhir, kemenangan Persaudaraan Italia pimpinan Meloni membuat kanan ekstrem menjadi arus utama politik di Italia yang diyakini kian menulari Eropa.

Platform politik Meloni mencemaskan kaum liberal dan demokrat di Italia dan Eropa.

BACA JUGA: Lihat Gaya Anies dan Investor Eropa Catwalk Ala Citayam Fashion Week

Dia terang-terangan mempertanyakan hak LGBTQ+ dan aborsi, cenderung anti-imigrasi dan terobsesi oleh upaya mempertahankan nilai lama yang disebutnya tengah diserang oleh nilai-nilai liberalisasi, termasuk globalisasi dan pernikahan sesama jenis.

Seperti umumnya pemimpin kanan ekstrem di Eropa, Meloni juga mengkritik integrasi Eropa dalam Uni Eropa dalam pandangan yang biasa disebut eurosceptic.

Kemenangannya menjadi angin segar untuk politik kanan ekstrem Eropa yang tersemangati sukses tokoh kanan Hungaria Viktor Orban, namun sempat terpukul oleh kekalahan Marine Le Pen dalam Pemilihan Presiden Prancis, beberapa waktu lalu.

Meskipun demikian, Le Pen telah membuat kaum kanan jauh di seluruh Eropa berbesar hati karena sukses membuat spektrum politik ini menjadi arus utama politik di Eropa.

Kanan jauh yang juga sering disebut kanan ekstrem adalah sisi terjauh yang melewati standar kanan dalam spektrum kiri-kanan pada politik kontemporer.

Garis politik ini amat konservatif, ultranasionalis, otoriter dan memiliki kecenderungan ideologis serta politik yang nativistis, yakni menolak kaum pendatang beserta pengaruh dan gagasan-gagasannya.

Kini, dari ujung utara Eropa di Swedia sampai ujung selatan benua ini di Italia, partai-partai kanan radikal sedang naik daun.

Apa yang mendasari sebagian Eropa beralih ke ekstrem kanan?

Di antara faktor yang sering disebut di Barat saat ini adalah kekhawatiran masyarakat terhadap beban hidup yang tinggi dan krisis energi, perang Ukraina, masalah imigrasi dan tingkat kriminalitas bersenjata yang tinggi.

Isu-isu yang membuat bagian terbesar warga Eropa merasa tidak aman lagi di negerinya sendiri itu kemudian dieksploitasi oleh partai-partai sayap kanan, termasuk di Italia.

Di Italia, Persaudaraan Italia yang disebut berakar dari fasisme Mussolini pada Perang Dunia Kedua, akan berkoalisi dengan dua kekuatan politik kanan lainnya, yang masing-masing dipimpin mantan perdana menteri Silvio Berlusconi dan Matteo Salvini.

Tetapi, seperti Barisan Nasional pimpinan Le Pen di Prancis, Persaudaraan Italia berusaha hati-hati menampilkan wajah aslinya, termasuk sikapnya terhadap Uni Eropa.

Meloni sendiri berusaha meredam sikap anti-Uni Eropa. Dia juga menjauhkan diri dari Rusia, tidak seperti Berlusconi yang bersahabat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Namun itu tak menghilangkan fakta bahwa kanan jauh Italia memiliki kesamaan karakteristik dengan sejawat-sejawatnya di Eropa.

Mereka sama-sama memusuhi elite politik, cenderung otoriter, mencampakkan multikulturalisme dan hak-hak gender, serta terobsesi memelihara identitas nasional bercirikan pandangan yang rasis.

Dengan sikap-sikapnya itu mereka kerap berseberangan dengan arus utama Eropa, sehingga Uni Eropa sering tak bisa satu kata ketika keadaan mengharuskan mereka satu kata, seperti dalam kasus invasi Rusia ke Ukraina.

Dalam konteks ini, kanan jauh di Hungaria adalah contohnya, di mana perdana menterinya yang pro-Rusia, Viktor Orban, dan partainya Fidesz menjadi penghalang utama Uni Eropa dalam membentuk sikap bersama menghadapi Rusia.

Orban juga dianggap melemahkan institusi peradilan independen, meniadakan diskursus akademik, mengabaikan hak minoritas dan kebebasan pers, sampai-sampai parlemen Eropa menyatakan Hungaria bukan lagi negara demokrasi.

Di tempat-tempat lain di luar Eropa, kanan ekstrem jatuh lebih cepat sebelum bisa lama berkuasa. Contohnya Donald Trump di Amerika Serikat.

Mereka sering terlihat sebagai kekuatan alternatif untuk keadaan buruk yang tengah terjadi, tapi ironisnya mereka juga acap mencampakkan nilai-nilai yang mengantarkan mereka berkuasa, seperti kebebasan berpendapat dan penghormatan kepada keberagaman.

Krisis demokrasi

Agak pelik menjejak penyebab utama kebangkitan kanan ekstrem di Eropa, selain sulit menentukan apakah faktor ekonomi, sosial, budaya atau politik yang menjadi pemicu terbesar kebangkitan mereka.

Namun kesepakatan di kalangan pakar di Eropa menyebutkan kebangkitan kanan ekstrem dijejak dari krisis ekonomi 2008.

Saat itu untuk melawan krisis keuangan yang hebat dan mengglobal, Uni Eropa dan pemerintah-pemerintah Eropa menekan defisit dengan pendekatan ekonomi neoliberal yang kejam, dengan menerapkan kebijakan moneter yang super ketat.

Langkah ini malah memperlebar kesenjangan antara elite yang diistimewakan oleh sistem dengan rakyat kebanyakan.

Kesenjangan ini kemudian dieksploitasi oleh kaum kanan ekstrem.

Saat bersamaan, terjadi erosi politik di Eropa ketika kelas pekerja yang biasanya mendukung partai-partai kiri, menjadi cenderung tak lagi mempercayai sistem.

Semua situasi ini menjadi pupuk yang menyuburkan pandangan individualistis, memecah belah dan sinis terhadap realitas.

Keadaan ini diperparah oleh krisis dalam demokrasi itu sendiri yang dianggap sudah tak mampu lagi mewujudkan janji-janji teoritiknya.

Demokrasi konvensional dianggap sudah menyerah dan kemudian tergantung kepada kepentingan penguasa modal, sehingga pergantian antara pemerintah tengah-kanan dan kiri-tengah tidak menawarkan alternatif untuk model ekonomi yang bisa mengatasi masalah yang ada.

Dalam atmosfer politik seperti ini, demokrasi pun menjadi pola atau prosedur tunggal yang tak bisa diubah, yang malah melucuti peran lembaga-lembaga perwakilan serta membuat pemilu pluralis direduksi tak lebih sebagai ritual belaka.

Dari sini, muncul rasa tidak puas dari bagian besar masyarakat yang lalu bermuara kepada ketidakpercayaan terhadap demokrasi dan lembaga-lembaga politik karena dipandang sudah terlalu korup, elitis, oligopolistik dan tak berdaya di depan korporasi besar yang tak terjamah siapa pun.

Akibat lebih jauh, partai-partai kemapanan pun dituding sudah tak mewakili rakyat yang sebenarnya.

Perubahan sikap masyarakat ini dimanfaatkan oleh partai-partai kanan yang getol menyerukan partisipasi politik langsung dan menawarkan alternatif bahwa kepercayaan kepada pemimpin karismatik adalah solusi untuk menghubungkan rakyat dengan penguasa tanpa perantara.

Uniknya fenomena ini tak hanya terjadi di Eropa. Di India, kecenderungan kanan sudah lama terjadi. Demikian pula dengan tempat-tempat lain, termasuk Brazil.

Namun di luar ancamannya terhadap inklusivitas dan keberagaman, merebaknya kanan jauh di Italia dan Eropa pantas dicermati oleh kekuatan-kekuatan politik mapan manapun di dunia.

Kekuatan-kekuatan mapan ini mesti segera mengoreksi diri untuk kembali menjadi agen demokrasi yang mempromosikan partisipasi luas publik dan tak lagi terlalu oligopolistik, kecuali ingin memberi jalan kepada ekstremisme politik dalam mendominasi tatanan dan narasi publik.


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler