Kepala UPT Pengawas Tata Bangunan dan Pemukiman wilayah Ciawi, Rudy Achdiat mengatakan, menjamurnya villa liar di kawasan Puncak bukan hal yang aneh.
Ia mengaku, sering memberikan teguran kepada pemilik villa namun mereka tak mau mengerti. “Hanya sedikit yang faham aturan,” ujarnya.
Ia menambahkan, hanya memiliki kewenangan untuk menghentikan perizinan sedangkan eksekusi Satpol PP. “Peneguran tak banyak memberikan hasil positif. Sekarang, yang bisa saya lakukan hanya menghentikan warga Jakarta yang akan memproses izin pembangunan,” tegasnya.
Sementara itu, rencana Pemprov DKI Jakarta membeli 600 villa di kawasan Puncak untuk dijadikan lahan resapan, mendapat dukungan Pemerintahan Kecamatan Cisarua.
“Bangunan liar dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama bencana alam saat musim hujan,” ujar Camat Cisarua, Teddy Pembang kepada Radar Bogor (Grup JPNN).
Menurut dia, longsor serta banjir merupakan masalah yang terus mengancam masyarakat yang tinggal di kawasan hulu maupun hilir.
Ia berharap, rencana Pemprov Jakarta dapat segera direalisasikan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemkab Bogor.
Ia mengatakan, saat ini banyak villa liar yang dimiliki pejabat sehingga petugas setempat kesulitan saat akan memberikan teguran maupun sanksi.
“Bagaimana bisa menertibkan, jika ada petugas kecamatan datang pemiliknya tak ada bahkan kalaupun dipanggil hanya anak buahnya yang datang,” tukasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, masalah villa liar tak akan bisa ditangani Pemkab Bogor namun harus ada campur tangan dari pemerintah pusat.
Kabid Tata Bangunan Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP), Atis Tardiana mengatakan, dari 467 vila dan bangunan yang tidak ber-IMB di Puncak, sebanyak 267 pemilik sudah ditegur melalui surat teguran pertama.
Semua vila itu, berada di lahan milik Perhutani yang merupakan lahan serapan air. “Semuanya adalah vila dan tempat peristirahatan pribadi, mereka mendirikannya di aset milik negara,” ujarnya. (cr4)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubangan Imam Bonjol Telan Korban
Redaktur : Tim Redaksi