Pemerintah Australia menyatakan bila keluarga 'manusia perahu' asal Sri Lanka, Nadesalingam Murugappan, diperbolehkan tinggal selamanya di negara ini, hal itu akan memicu maraknya kembali penyelundupan manusia.

Keluarga keturunan Tamil ini telah ditahan di Christmas Island sejak tahun 2019, namun kini diizinkan tinggal di Australia Barat untuk sementara demi alasan kesehatan.

BACA JUGA: Australia Direpotkan Wabah-Wabah Kecil yang Terus Muncul

Menteri Imigrasi Alex Hawke menyebutkan, bila keluarga ini dibolehkan tinggal dan kemudian diberikan status penduduk tetap, hal itu akan membuka kembali penyelundupan manusia ke Australia.

"Pasti hal itu terjadi. Ada beberapa faktor. Pemerintah tegas dalam menerapkan kerangka kerja yang telah berhasil menghentikan penyelundupan manusia," katanya dalam wawancara dengan kantor saluran berita televisi Sky News.

BACA JUGA: Visa Australia Bagi Pekerja Pertanian Asal ASEAN Dapat Berujung Eksplotasi Massal

"Alasan mengapa kami tegas karena (penyelundupan manusia perahu) itu telah menyebabkan kehilangan nyawa, menimbulkan biaya besar, serta melemahkan aturan perbatasan negara," tambah Menteri Hawke.

Penyelundupan manusia berhasil dihentikan sejak lebih dari lima tahun lalu oleh pemerintah Australia, bekerja sama dengan pemerintah negara tetangga khususnya Indonesia.

BACA JUGA: Kasus Harian COVID-19 di Indonesia Naik, Epidemiolog Ingatkan Angka Sebenarnya Jauh Lebih Tinggi

Bagaimana situasi perdagangan dan penyelundupan manusia saat ini?

Di Indonesia tercatat 13.700 pencari suaka dan pengungsi yang berasal dari sekitar 40 negara, yang sebagian ingin masuk ke Australia.

Menurut Antje Missbach, profesor bidang mobilitas dan migrasi pada Bielefeld University, Jerman, pernyataan Menteri Imigrasi Alex Hawke itu agak mengejutkan karena dalam lima tahun terakhir hal itu tidak terjadi di Australia.

"Namun di sisi lain saya tidak kaget karena pernyataan ini menunjukkan sikap pemerintah Australia dalam menyebarkan ketakutan terhadap kedatangan manusia perahu," kata Profesor Antje yang bertahun-tahun meneliti pengungsi dan pencarian suaka yang ada di Indonesia.

Ia menjelaskan, sejak kebijakan "Stop the Boat" diterapkan saat Pemerintahan PM Tony Abbott di tahun 2013, hanya ada 37 perahu yang mengangkut 858 pencari suara mencoba masuk ke Australia.

"Namun angka ini adalah laporan yang diberitakan di media, padahal dalam isu ini pemerintah Australia selalu merahasiakan dengan alasan operasional di lapangan," jelas Profesor Antje.

Disebutkan, dari ke-37 perahu yang berhasil diberhentikan oleh petugas perbatasan tersebut, mayoritas dipulangkan kembali ke perairan Indonesia. Sisanya ke Sri Lanka dan Vietnam.

Prof Antje menjelaskan, kombinasi antara pemrosesan pencari suaka di luar Australia serta tindakan memulangkan perahu yang masuk secara ilegal, merupakan faktor keberhasilan kebijakan pemerintah saat ini.

Pemrosesan pencari suaka di luar Australia diterapkan bagi setiap orang yang berusaha masuk ke Australia secara ilegal. Mereka akan dikirim ke Pulau Manus dan Nauru untuk menunggu permohonan suaka diproses.

Sedangkan tindakan menghentikan dan memulangkan perahu dilakukan aparat penjaga perbatasan dengan cara mencegat dan memaksa balik setiap perahu yang berusaha menyelundupkan orang ke wilayah Australia.

Menurut Profesor Antje, faktor lain yang berpengaruh terhadap terhentinya penyelundupan manusia ke Australia yaitu menurunnya kuota pencari suaka yang diterima negara ini setiap tahun.

"Akibatnya, terjadi masa tunggu yang semakin panjang bagi para pencari suaka yang saat ini berada di Indonesia dan ingin masuk ke Australia," jelas mantan dosen Monash University, Australia ini.

"Mereka tahu sudah bisa lagi naik perahu ke Australia dan juga peluang untuk diterima sebagai pencari suaka di Australia tidak akan dipenuhi," tambah Profesor Antje.

Namun para pengungsi dan pencari suaka dari berbagai negara yang terlanjur tiba di Indonesia, katanya, tetap memiliki harapan suatu saat Pemerintah Australia akan mengubah kebijakannya.

Dari penelitian Profesor Antje terhadap kasus-kasus hukum terkait penyelundupan manusia, terungkap bahwa pelaku tindak kriminal yang kebanyakan diproses hanyalah operator di lapangan, seperti para nelayan yang menjadi awak perahu.

"Sangat jarang ada oknum lebih tinggi yang terlibat dalam penyelundupan ini yang diproses hukum," ujarnya.

Karena itu, menurut Profesor Antje, meskipun saat ini sudah tidak terdengar lagi penyelundupan manusia perahu ke Australia, "infrastruktur" pendukungnya tetap ada. Penampungan bagi pencari suaka di Indonesia

Profesor Antje menjelaskan, di akhir tahun 2018, Indonesia membentuk model 'shelter' atau penampungan imigrasi untuk para pengungsi dan pencari suaka.

"Sebelumnya, para pengungsi dan pencari suaka ini ditampung di 13 lokasi detensi imigrasi yang dibiayai oleh Australia melalui Organisasi Internasional untuk Imigrasi (IOM)," jelasnya.

"Dengan model 'community shelter' [penampungan warga] tersebut, para pengungsi dan pencari suaka tidak lagi ditampung dalam detensi imigrasi di Indonesia," tambahnya.

Yang menjadi masalah, kata Profesor Antje, adalah jumlah pengungsi dan pencari suaka yang bisa ditampung melalui 'community shelter' ini masih terbatas.

"Selain itu, mereka ini tidak memiliki hak untuk bekerja, dan mereka yang kedapatan bekerja berisiko untuk dimasukkan kembali ke detensi imigrasi," paparnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari laporan program Radio National.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Harian COVID-19 di Indonesia Naik, Epidemiolog Ingatkan Angka Sebenarnya Jauh Lebih Tinggi

Berita Terkait