Pemimpin Tiongkok Xi Jinping dilaporkan telah membuka jalan bagi perluasan peran militer Tiongkok di negara lain, tak lama setelah Pemerintah Tiongkok menandatangani Pakta Keamanan dengan Kepulauan Solomon.

Pemerintah Tiongkok menyatakan Presiden Xi menandatangani puluhan dokumen yang memungkinkan militer negara itu menggelar "operasi angkatan bersenjata" non-perang di luar Tiongkok.

BACA JUGA: Telepon Putin, Xi Jinping: China Siap Bekerja dengan Rusia

Laporan media pemerintah menyebutkan Presiden Xi, yang dijuluki sebagai Ketua Xi karena posisinya sebagai ketua Komisi Militer Pusat, telah menandatangani 59 peraturan baru, namun perinciannya tidak dipublikasikan.

Dikatakan, peraturan baru ini merupakan dasar hukum bagi Tentara Pembebasan Rakyat untuk "menjaga kedaulatan nasional Tiongkok, keamanan dan kepentingan pembangunan".

BACA JUGA: China Ancam Serang Taiwan, Dampak Globalnya Bakal Mengerikan

"Pasukan Tiongkok dapat mencegah efek dari ketidakstabilan regional yang memengaruhi Tiongkok, mengamankan rute transportasi vital untuk komoditas strategis seperti minyak, atau melindungi investasi, proyek, dan personel luar negeri Tiongkok," kata laporan Global Times, media Partai Komunis Tiongkok.

Ditambahkan, pedoman itu akan menentukan peran militer dalam kegiatan yang telah dilakukan, seperti bantuan bencana, misi bantuan dan pemeliharaan perdamaian.

BACA JUGA: Mufti Rusia: Presiden Putin Sering Membaca dan Menghafal Al-Quran

Keputusan Presiden Xi untuk mempromosikan dan melegitimasi "operasi militer" non-perang telah menimbulkan keheranan karena terjadi hanya beberapa bulan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menginvasi Ukraina dengan kedok "operasi militer khusus."

Hal ini menarik perhatian pengamat di Taiwan, pulau yang memiliki pemerintahan sendiri yang diklaim oleh Tiongkok.

"Saya kira hal ini hanya salinan dari istilah 'operasi khusus' Putin," kata Dr Eugene Kuo Yujen, seorang analis di Institut Penelitian Kebijakan Nasional Taiwan.

"Setelah apa yang terjadi di Ukraina, ini mengirimkan sinyal yang sangat mengancam ke Taiwan, Jepang dan negara-negara sekitarnya di Laut Tiongkok Selatan," katanya.

"Xi Jinping sedang mencoba meningkatkan aktivitas zona abu-abu Tiongkok," kata Dr Kuo, merujuk pada tindakan yang merugikan negara lain tapi tidak termasuk dalam definisi perang.

Wu Qiang, seorang analis independen di Beijing yang sebelumnya mengajar di universitas terkemuka Tiongkok, Tingha, sebelum diberhentikan karena alasan politik, juga melihat persamaan dengan bahasa yang digunakan Putin dan klaim teritorialnya atas Ukraina.

"Cara Beijing melihatnya, misi masa depan untuk menyatukan Taiwan hanya akan menjadi kelanjutan dari perang saudara yang belum selesai pada tahun 1949," katanya kepada ABC.

"Jadi semua ini terkait dengan upaya mendefinisikan intervensi militer masa depan di Taiwan sebagai operasi 'non-perang'," ujar Wu Qiang.

Dr Kuo menilai pengumuman tentang pedoman tersebut sebagian bertujuan untuk mengatasi pertikaian politik di dalam militer menjelang perombakan besar-besaran kepemimpinan Partai Komunis akhir tahun ini.

Namun dia menambahkan, hal ini juga terkait dengan Pakta Keamanan Tiongkok dengan Kepulauan Solomon dan upaya Menlu Wang Yi yang gagal meyakinkan negara-negara Pasifik Selatan lainnya untuk menandatangani perjanjian serupa.

Menlu Wang pekan lalu memperjelas bahwa Tiongkok bermaksud untuk terus mengejar hubungan yang lebih dekat dengan negara-negara Pasifik Selatan.

"Pakta Kepulauan Solomon memungkinkan militer Tiongkok untuk campur tangan di masa depan jika ada situasi genting, atau mungkin kudeta atau masalah keamanan," kata Dr Kuo.

"Jadi pedoman ini menyangkut perlunya dasar hukum bagi Tiongkok untuk campur tangan (secara militer di negara lain)," jelasnya.

Pedoman tersebut tampaknya melegitimasi kekuatan militer Tiongkok untuk melakukan intervensi jika kepentingan Pemerintah Tiongkok di luar negeri terancam.

Di bawah Belt and Road Initiatives, Beijing telah meminjamkan puluhan miliar dolar ke negara lain untuk membangun proyek-proyek infrastruktur, yang dalam beberapa kasus telah diambil alih oleh Tiongkok setelah negara peminjam gagal bayar.

Sebuah perusahaan milik Tiongkok sedang membangun landasan terbang di negara Kiribati yang sangat strategis di Pasifik Selatan, sementara di Australia, perusahaan swasta Tiongkok Landbridge telah menyewa Pelabuhan Darwin selama 99 tahun.

Masih belum jelas apakah ancaman terhadap keterlibatan Tiongkok dalam proyek-proyek semacam itu tercakup dalam kerangka hukum yang baru tersebut.

Namun yang pasti, pedoman ini keluar ketika ketegangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat atas Taiwan meningkat.

Tiongkok dilaporkan telah mulai memberi tahu pihak AS bahwa mereka tidak mengakui istilah "perairan internasional" di Selat Taiwan.

Kapal Angkatan Laut AS tahun ini telah beberapa kali transit melalui selat yang lebarnya sekitar 160 kilometer dan memisahkan Tiongkok dari Taiwan.

"Tidak ada dasar hukum istilah 'perairan internasional' dalam hukum laut internasional," kata juru bicara Pemerintah Tiongkok, Wang Wenbin.

"Itu klaim yang salah bila negara tertentu menyebut Selat Taiwan sebagai 'perairan internasional' demi menemukan dalih untuk memanipulasi masalah terkait dengan Taiwan," ujarnya.

Langkah ini merupakan kelanjutan sikap Beijing yang tidak mau mengakui garis tengah "median" di selat yang berfungsi memisahkan jet militer Tiongkok dan Taiwan.

Seorang jenderal senior Tiongkok Wei Fenghe menyatakan dalam sebuah forum pertahanan di Singapura bahwa Tiongkok akan "berjuang sampai titik darah penghabisan" untuk menguasai Taiwan.

Sejumlah media Tiongkok melaporkan, Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles dalam sebuah pertemuan telah diperingatkan oleh Jenderal Wei untuk menghindari masalah Taiwan.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nama Cacar Monyet Akan Diganti untuk Menghindari Kemungkinan Diskriminasi dan Stigma

Berita Terkait