Trauma dan stres, itulah yang dialami Stephanie Brown setelah badai 'Topan Tracy' menerjang kota tempat tinggalnya, dan kemudian merenggut nyawa sang adik. Ia dan keluarga mengalami kesedihan berlarut-larut dan akhirnya pulih 40 tahun kemudian, setelah mengikuti program konseling.
Ketika atap rumah tertiup angin, hujan membasahi kamar tidur dan adik perempuan Stephanie Brown yang kala itu berusia 8 tahun. ia menempel di punggung ibunya selama berjam-jam dalam gelap, dan tertindih di bawah kasur basah.
BACA JUGA: Dianggap Mengganggu, Ratusan Warga Bendigo Tolak Pembangunan Masjid
Sebelum mengikuti konseling modern atau pengenalan gangguan stres pasca trauma, selama bertahun-tahun, keluarga Stephanie tak pernah berbicara banyak tentang malam nahas ketika Topan Tracy menyerang.
BACA JUGA: Sepekan 2 Bayi Ditelantarkan, NSW Bangun Loket Bayi Tak Diinginkan
"Selama bertahun-tahun, saya mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol untuk membantu mengatasi hal ini. Kini, saya tak melakukannya lagi. Tapi kondisi itu merupakan bagian besar dalam hidup saya, yang bertahan untuk waktu yang lama," cerita Stephanie.
Ayahnya menyalahkan dirinya sendiri atas kematian putrinya, tetapi tak pernah membicarakan kesedihannya itu.
BACA JUGA: Hari AIDS : Usia Panjang Bukan Lagi Angan Semata Bagi Penderita HIV
"Natal bukanlah waktu yang baik bagi kami. Sejak bencana topan itu, saya menghindari Natal bila memungkinkan,” kenang Stephanie.
Ia mengatakan, setelah anak ketiganya lahir, 29 tahun yang lalu, ia mengalami depresi pasca melahirkan dan kemudian, akhirnya, "Mulai mengatasi sejumlah masalah yang saya lalui, yang saya lihat, dan yang saya tak ingin lihat lagi".
Pada malam Natal 1974, Stephanie berusia 18 tahun dan seorang "gadis pesta yang normal" serta memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sang adik, Geraldine.
"Seseorang mengatakan ada topan datang dan Geraldine berkata, ‘aku tak takut, kakak akan menjagaku'. Kata-kata itu telah menghantui hidup saya sejak badai topan berlalu," ratapnya.
Stephanie menyangkal alami Topan Tracy
Pada Hari Natal, kota tempat tinggal Stephanie hancur dan bangunan yang masih berdiri menjadi stasiun bantuan, asrama, dapur dan kamar mayat sementara.
"Saya berjalan melewati seorang dokter dan ia meraih saya serta meminta saya untuk membantunya. Saya pikir, saya hanya melakukan apa yang diminta, tapi kemudian saya terkena asma lalu ia memberi saya Ventolin,” tutur Stephanie.
Ia lantas menemukan cara lebih mudah untuk mengatasi hal itu, yakni dengan bekerja.
Sementara itu, para perempuan dan anak-anak sedang dievakuasi. Ia menolak hingga Februari ketika pihak berwajib akhirnya memaksanya pergi.
"Setiap kali mereka coba untuk menempatkan saya di pesawat, saya langsung pergi ke tempat lain," katanya.
Di Perth, ia mengatakan kepada ayahnya bahwa ia ingin pulang. Keluarga Stephanie kemudian kembali ke Darwin.
Selama bertahun-tahun, ketika ditanya, "Apakah anda mengalami Topan Tracy?", Stephanie mengatakan tidak.
"Saya mau berbicara tentang hal itu sekarang, tapi butuh waktu bertahun-tahun sebelum ini terjadi. Menurut saya, tak ada satu orang-pun yang melihat pentingnya konseling. Tapi saya pikir, kondisinya lebih baik sekarang,” ungkap Stephanie.
Ia lantas menyambung, "Tapi bagi mereka yang masih melalui stres pasca trauma akibat Topan Tracy, saya rasa mereka perlu mencari bantuan dan berbicara tentang hal itu.”
"Bagi ibu saya, membawa anak-anaknya kembali ke Darwin adalah sebuah langkah yang heroik. Hingga Anda punya anak sendiri, Anda tak bisa membayangkan betapa sedihnya kehilangan seorang anak," tambahnya.
Kembali ke Darwin, ayah Stephanie membangun rumah beton yang kokoh tanpa tingkat - jenis yang kemudian dikenal sebagai rumah ‘trauma tracy’.
Mereka tinggal di sana selama bertahun-tahun setelah badai topan berlalu.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kian Banyak PNS di Australia Membolos Kerja