jpnn.com - KEGIGIHAN Rustono, pengusaha tempe asal Indonesia yang kini tinggal di Jepang, patut ditiru. Berkali-kali produknya ditolak hotel dan restoran. Tapi, itu tak menyurutkan semangatnya untuk memasarkan makanan khas Indonesia tersebut. Kini tempe Rustono menguasai pasar Jepang.
NARTO, Jember
Siapa mengira bahwa Rustono yang dulu bukan siapa-siapa kini menjadi pengusaha sukses di Jepang. Siapa mengira warga Jepang yang dulu enggan makan tempe sekarang menjadi doyan makanan berbahan kedelai itu.
BACA JUGA: Susan Jasmine Zulkifli, Lurah yang Sempat Ditolak Warga karena Beda Agama
Meski bukan yang pertama, Rustono termasuk orang Indonesia yang dengan gigih mempromosikan tempe di Negeri Matahari Terbit. Dia pun kini memetik hasilnya. Usahanya sukses besar. Pasar tempenya menguasai negara itu, bahkan mulai menembus pasar Eropa.
Succes story Rustono yang mengawali usaha dari nol tersebut diungkapkan dalam seminar pangan nasional yang diadakan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) di Hotel Aston, Jember, Rabu (28/8) lalu. Ikut menyimak dengan saksama Bupati Jember M.Z.A. Djalal.
BACA JUGA: Jadi Kuli Bangunan dan Buka Warung Kecil-kecilan
Rustono mengaku tidak menyangka akan menjadi pengusaha tempe di negeri orang. Sebab, sebenarnya, cita-citanya sejak kecil hanya ingin naik pesawat terbang. Untuk mewujudkan impiannya itu, dia lalu kuliah di akademi perhotelan yang memungkinkan dirinya kelak terbang dari satu kota ke kota lain, bahkan ke luar negeri.
Setamat kuliah pada 1990 dia bekerja di sebuah hotel yang cukup besar di Jakarta. Impiannya mendekati kenyataan. Di tempat kerjanya itu, pria asal Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, tersebut banyak berhubungan dengan tamu asing. Salah satunya Tsuruko Kuzumoto, tamu dari Jepang, yang berlibur di Indonesia.
BACA JUGA: Ketika 41 Pesumo dari Jepang Berlaga di Istora Senayan, Jakarta
Pertemuan dua insan beda negara itu rupanya seperti suratan takdir. Keduanya saling jatuh cinta. Bahkan, mereka bersepakat meneruskannya ke pelaminan. Tak lama kemudian Tsuruko mengajak Rustono terbang ke Jepang. Pada 1 Oktober 1997 Rustono menginjakkan kaki di Negeri Sakura. Sejak itulah dia memulai hidup baru di negara istrinya, seorang pegawai bank swasta.
"Saya mau diajak ke Jepang, tetapi dengan syarat saya boleh membuka usaha di sana," ungkap Rustono ketika ditemui Jawa Pos Radar Jember seusai menjadi narasumber seminar itu.
Tsuruko tak keberatan, bahkan mendukung keinginan suaminya. Namun, sesampai di Jepang, Rustono tidak langsung membuka usaha. Dia melakukan riset kecil-kecilan di sekitar tempat tinggalnya, di Shigaken Otsu-shi Hachiyado, Shiga, Jepang. Dia ingin tahu bisnis apa yang belum ada dan memungkinkan untuk dijalankan.
"Pakai sepeda saya keliling kota untuk mencari tahu bisnis yang tepat. Di Jepang sudah ada usaha tahu, tapi usaha tempe sepertinya belum," jelasnya.
Setelah yakin belum ada orang yang membuka usaha tempe, dia berdiskusi dengan sang istri. Mereka lalu sepakat merintis usaha itu dari nol.
Namun, sebelum menjalankan usahanya, Rustono merasa perlu belajar ilmu bisnis dulu. Dia bukan menimba ilmu di sekolah, melainkan belajar bisnis dengan menjadi pegawai di salah satu pabrik roti. Di pabrik itu Rustono banyak belajar tentang manajemen dan sumber daya manusia.
"Tiga tahun saya bekerja di pabrik roti. Saya belajar tentang etos kerja, kualitas produk, dan sebagainya," tutur pria kelahiran 3 Oktober 1968 tersebut.
Sambil bekerja, Rustono berupaya mewujudkan impiannya untuk membuka usaha tempe. Dia belajar membuat tempe dari internet. Berkali-kali gagal, sampai akhirnya mendapatkan formula yang tepat untuk tempe produksinya.
"Empat bulan uji coba saya membuat tempe gagal terus," terang Rustono yang bahasa Indonesianya tidak berubah.
Begitu yakin tempenya bisa diproduksi, Rustono memutuskan keluar dari pabrik roti dan mulai membuka usaha tempe. Itu terjadi pada 2000.
Namun, awal usahanya tidak mulus. Tempenya tidak diminati hotel atau restoran setempat. Meski demikian, dia tidak patah arang. Dia tetap memproduksi dan menawarkannya ke toko-toko. Kalaupun tidak ada yang membeli, tempe itu dikonsumsi sendiri.
Tak kunjung membuahkan hasil, Rustono meminta izin istrinya untuk pulang ke Indonesia. Dia bermaksud menimba ilmu membuat tempe yang enak dan digemari.
"Sekitar 60 pengusaha tempe dari Semarang sampai Jogja saya datangi. Saya benar-benar ingin menyerap ilmu mereka. Saya tidak ingin gagal lagi," papar bapak dua anak itu.
Ketika kembali ke Jepang Rustono meneruskan usaha tempenya. Bahkan, saking bersemangatnya, meski musim dingin, dia tetap bekerja: membangun pabrik tempe di rumahnya. Dia ingin segera memproduksi tempe dengan bekal ilmu yang didapat saat pulang kampung.
Rupanya, aktivitas Rustono yang nekat membangun pabrik pada musim dingin menarik perhatian seorang wartawan yang lewat di sekitar rumahnya. Wartawan lokal itu heran melihat Rustono mendirikan bangunan di musim dingin. Dia lalu mewawancarai Rustono dan menuliskan hasil wawancara di medianya.
"Berkat tulisan si wartawan itulah saya mulai mendapat order dari restoran dan hotel yang pernah saya tawari. Mereka ingin tahu tempe produksi pabrik saya," cerita dia.
Untuk mem-branding tempe produksinya, Rustono memberi merek Rustono Tempeh (pakai H, Red). Tempe itu dikemas dalam ukuran " kg dengan bungkus plastik. Produksinya bervariasi, bergantung pada pesanan.
"Setelah itu tempe saya diminati. Sejumlah restoran dan hotel memesan tempe ke saya," imbuhnya.
Rustono pun tambah giat bekerja. Pesanan terus bertambah. Pekerjanya juga mulai banyak. Kini dia mempekerjakan sembilan orang Jepang untuk melayani pesanan hotel dan restoran itu. Bahkan, istrinya yang bekerja di bank memilih keluar dan membantu usaha Rustono.
Kini, dalam lima hari kerja, pabrik Rustono bisa memproduksi 16.000 bungkus tempe. Dia mengaku memiliki 490 pelanggan di seluruh Jepang. Mulai Hokaido hingga Okinawa.
"Tempe saya dikenal berkat promosi dari mulut ke mulut," tambahnya. Bahkan, sambung dia, tempenya sekarang mulai menembus Eropa. "Saya mulai ekspor ke Prancis, tetapi dalam bentuk ragi tempe," jelas Rustono. Dia menulis ragi tempenya ke Prancis itu dengan tagline "Warisan Budaya Indonesia" itu.
Berkat kegigihan Rustono, orang Jepang kini doyan lauk kaya protein itu. Bahkan, pabrik Rustono pun mendapat saingan. Beberapa pabrik mulai memproduksi tempe untuk melayani permintaan konsumen.
"Tapi, saya tidak khawatir. Tempe saya sudah punya pelanggan. Dan, saya mulai merambah pasar internasional, terutama di Eropa dan Korea Selatan," tandas dia. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Erupsi Berlalu, Banjir Lahar Dingin Mengancam
Redaktur : Tim Redaksi