JAKARTA - Kebutuhan dolar AS (USD) oleh importer swasta yang tak terdeteksi dinilai memicu pelemahan rupiah terhadap USD. Hal ini lantaran Bank Indonesia (BI) belum memiliki catatan sistem pembayaran importasi. Sistem tersebut terkait dengan kepastian permintaan USD, khususnya untuk importasi dan pembayaran utang yang jatuh tempo.
Kurs rupiah per 23 Agustus menguat tipis di level Rp 9.480-Rp 9.500 per USD dibandingkan penutupan 16 Agustus 2012 di level Rp 9.498.
Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani mengungkapkan sejauh ini pemerintah telah melakukan penjagaan nilai mata uang baik melalui pelaporan hasil ekspor kepada perbankan dalam negeri maupun kewajiban lapor utang luar negeri. "Namun, pembayaran utang luar negeri tidak lapor, BI tidak tahu seberapa besar suplai dana sesuai kebutuhuhan," ungkap Aviliani, Kamis (23/8).
Dia mencontohkan, kewajiban lapor Pertamina dalam hal impor BBM. Sejauh ini, memang hanya BUMN yang melaporkan kebutuhan USD-nya. Di luar BUMN seperti perusahaan swasta, belum ada yang melakukan pelaporan. Akibatnya, ketika ada perusahaan yang utangnya jatuh tempo, rupiah pun jeblok.
"BUMN masih bisa dideteksi, kalau swasta nggak mau tahu hari ini minta, harus ada duitnya (USD). Nah ini yang bahaya. Jadi yang menakutkan bukan krisisnya, melainkan karena mata uang kita tidak bisa dijaga," terangnya.
Sejauh ini, lanjut dia, korporasi swasta masih belum mau mencatatkan kebutuhan uang untuk impor atau membayar utang. "Jadi bukannya pemerintah ingin mengontrol devisa, tapi dalam rangka krisis semua negara melakukan (pencatatan kebutuhan USD). Hanya Indonesia yang belum," terangnya.
Menurut dia, masih sulitnya penyampaian data kebutuhan USD lataran setiap importer atau perusahaan memiliki perbedaan"policy. "Ada yang bayar di depan, ada yang di belakang. BI belum mengawasi skala pembayaran. Padahal itu penting," jelasnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini menerangkan, penjagaan atas kestabilan nilai mata uang sangat diperlukan di tengah situasi perlambatan perekonomian global ini. Sebab, ketika rupiah terus mengalami pelemahan, inflasi bakal meningkat.
"Ketika inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi tidak bisa untuk investasi. Padahal, krisis memiliki dampak bagus di Indonesia. Tiga tahun ini momennya"capital inflow, jadi harus bisa memanfaatkan," tandasnya. (gal/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jagung Kejar Produksi 5,95 Juta Ton
Redaktur : Tim Redaksi