jpnn.com, JAKARTA - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan ada 15 perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Sosok yang biasa disapa Pak Bur itu mengatakan tiga dari 15 perkara itu sudah tuntas. Yakni, kasus Timor Timur 1999, Tanjung Priuk 1984, dan Abepura 2000.
“Terdapat 12 perkara pelanggaran HAM yang belum diselesaikan,” kata Pak Bur saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/11).
BACA JUGA: Cerita Jaksa Agung ST Burhanuddin soal Kedekatannya dengan M Prasetyo
Dia menjelaskan kasus itu terjadi sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pak Bur memerinci yakni peristiwa 1965, penembakan misterius, Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Kemudian, peristiwa Talangsari, tragedi simpang KKK, Aceh, peristiwa rumah gedong 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.
“Setelah UU Nomor 26 Tahun 2000 adalah peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk dan peristiwa Paniai 2014,” ujar Pak Bur.
BACA JUGA: Demo di Dekat Istana, Mahasiswa Tuntut Jokowi Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM
Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung itu mengatakan pihaknya sudah mempelajari dan meneliti 12 perkara yang merupakan hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM itu. “Hasilnya, baik persyaratan formi, materil, belum memenuhi secara lengkap,” ungkapnya.
Lebih lanjut Pak Bur mengatakan telah ada hasil rapat paripurna DPR yang menyatakan bahwa peristiwa 1965, Semanggi I dan II, bukan pelanggaran HAM berat. Sementara itu, kata dia, perkara Paniai 2014 masih berupa surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan hasil penyelidikan. “Sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Ayat 1, Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” paparnya.
BACA JUGA: Ini Kata Pakar Hukum Internasional soal Dugaan Pelanggaran HAM saat Demo Mahasiswa 24 September
Dia mengungkapkan ada beberapa hambatan dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat. Pak Bur memerinci, belum adanya pengadilan HAM ad hoc. Penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sifatnya pro justitia, sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk.
Ia menambahkan pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena itu, keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti. Kecuali didukung alat bukti lain, seperti ahli forensik, uji balistik, dokumen terkait, dan sebagainya.
“Sulitnya memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada,” papar Pak Bur.
Dia mengatakan ada beberapa opsi penanganan pelanggaran HAM berat di Indonesia. Menurut dia, untuk mencapai kepastian hukum perlu ditinjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara, mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan instrumen HAM secara universal.
Lebih lanjut dia mengatakan pihaknya telah melakukan koordinasi intensif dalam penanganan perkara HAM berat. Koordinasi itu adalah bedah kasus yang digelar 15-19 Februari 2019, di Novotel, Bogor, Jawa Barat, terhadap enam berkas penyidikan dugaan peristiwa pelanggaran HAM Berat. Yakni peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, peristiwa penghilangan orang secara paksa, Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965.
“Berdasarkan hasil penenelitian bersama diperoleh hasil bahwa terdapat enam berkas penyelidikan kekurangan (syarat) formil maupun materil untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan,” pungkas saudara kandung politikus PDI Perjuangan TB Hasanuddin itu.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy