WARGA Bali sangat antusias menyambut pembukaan akses tol Nusa Dua–Ngurah Rai–Tanjung Benoa. Karena itu, mereka begitu bersemangat hadir memenuhi undangan jalan dan sepeda santai oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, Sabtu (6/7). Bagaimana rasanya menyusuri jembatan tol sepanjang 7,5 kilometer tersebut" Berikut laporan Jawa Pos yang mengikuti acara itu.
M. Salsabyl Ad’n, Denpasar
======================
Saat Jawa Pos tiba pukul 15.45 atau seperempat jam sebelum acara dimulai, warga yang ingin menjajal jembatan tol terpanjang itu sudah memenuhi hampir separo ruas jalan tol menuju garis start. ’’Tolong, untuk pengendara sepeda yang ada di depan, maju sedikit ya. Soalnya, yang di belakang katanya sudah nggak bisa masukin sepedanya,’’ kata MC.
Dahlan Iskan yang ditunggu-tunggu untuk menandai dimulainya uji coba jembatan tersebut akhirnya muncul. Peserta langsung berebut mengerumuni mantan Dirut PLN itu sambil bersorak sorai. Baru setelah pemberangkatan peserta, lautan manusia yang semula penuh dan bising tersebut mulai terurai.
Jawa Pos yang ikut menyusuri jembatan tol Nusa Dua–Ngurah Rai–Tanjung Benoa itu menjumpai jalan yang dibangun tidak selalu lurus. Jalan tersebut justru dibuat berkelok-kelok dengan simpang susun di bagian tengah untuk menghubungkan ke tiga arah yang berbeda: bandara, pelabuhan, dan wisata Nusa Dua.
Naik turun jalan tersebut juga tidak normal. Jalan awalnya justru sedikit mendaki, lalu menurun ketika menjauhi tepi daratan. Sekali dua kali pemandangan pesawat yang melintas dari dekat pun menambah rasa kagum.
General Manager Pelindo III Cabang Tanjung Benoa Prasetyo menjelaskan, pembangunan jembatan tol tersebut dimulai dari rencana pemerintah daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk membangun jalan alternatif dari Denpasar menuju Nusa Dua. Selama ini, masyarakat yang ingin bepergian ke dua daerah tersebut harus melewati jalan darat yang memutar di Bypass Ngurah Rai. Karena itu, tercetus ide untuk menghubungkan Pulau Seranggan dan Tanjung Benoa dengan jembatan sepanjang 7,5 kilometer.
Sayangnya, rencana yang sudah dalam tahap studi kelayakan itu punya satu masalah. Jembatan tersebut terimpit dua jalur moda transportasi. Wilayah yang akan dibangun jembatan itu biasa dilewati pesawat terbang untuk mendarat. Di sisi lain, kapal juga masuk ke Pelabuhan Benoa melalui wilayah tersebut.
”Angkasa Pura memberi syarat agar tinggi maksimal jembatan tidak lebih dari 46 meter di atas permukaan laut. Padahal, Benoa yang sedang dikembangkan menjadi turn around port (titik balik untuk kapal pesiar, Red) memerlukan ketinggian jembatan setidaknya 49 meter di atas permukaan laut,” tutur Prasetyo yang mengaku terlibat dalam awal konsep proyek tersebut.
Pras, sapaan akrabnya, yang sebelumnya bertugas di tim percepatan Benoa Cruise Center (rencana Pelindo III untuk mengembangkan Tanjung Benoa sebagai pelabuhan kapal pelayaran) diminta segera mencari solusinya.
Tim akhirnya mengusulkan untuk membelokkan jalur yang seharusnya lurus agar tak mengganggu pengembangan Pelabuhan Benoa. Jadilah desain pertama jembatan antara Nusa Dua dan Tanjung Benoa yang berbentuk setengah lingkaran.
”Jadi tak melintasi alur laut, tapi lebih ke sisi dalam. Dengan begitu, kapal masih bisa masuk, tapi jembatan bisa dibangun serendah mungkin,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, Pras juga menemukan alternatif untuk menambah jalur menuju Bandara Ngurah Rai. ”Tapi, kami bilang tak berani merencanakan karena itu bukan tanah kami. Melainkan tanah milik Angkasa Pura,” ujarnya.
Kendala kepemilikan tanah itu dilaporkan apa adanya pada rapat koordinasi (rakor) BUMN. Pelindo III sudah membulatkan tekad untuk mengajak kerja sama PT Jasa Marga. Pertimbangannya, jalan tol bukanlah core business Pelindo III. Sayangnya, tawaran tersebut direspons kurang antusias oleh pihak Jasa Marga.
Sulitnya Pelindo III menggandeng pihak lain itu mendapatkan perhatian Direktur Pengembangan Pelindo III ke Deputi BUMN Bidang Infrastruktur Sumaryanto. ”Setelah melalui pendekatan insentif oleh Pak Sumaryanto, akhirnya kami bisa bekerja sama dengan Jasa Marga. Sekalian juga Angkasa Pura supaya jalurnya bisa langsung ke bandara. Yang terakhir, kami bekerja sama dengan BTDC (Bali Tourism Development Corporation, Red) karena terkait dengan pariwisata,” ungkap Pras.
Setelah itu, pada 26 Oktober 2010, pihak-pihak yang ditunjuk Kementerian BUMN akhirnya membahas perlunya dibentuk konsorsium. Dalam proses, konsorsium pun terus melebar. Dengan pertimbangan mempermudah dan mempercepat proses, konsorsium pun memutuskan untuk mengajak beberapa kontraktor BUMN. Mulai Adhi Karya, Waskita Karya, hingga Hutama Karya akhirnya bergabung dalam konsorsium.
Akhirnya, dengan dana pinjaman Rp 1,7 triliun dari gabungan perbankan pelat merah, konsorsium tersebut berhasil memenangi tender proyek. ”Setelah itu kami langsung bergerak cepat. Dan alhamdulillah, ternyata kontur tanahnya sangat mendukung. Jadinya, 14 bulan sudah rampung,” ungkapnya. (*/c5/c9/kim)
M. Salsabyl Ad’n, Denpasar
======================
Saat Jawa Pos tiba pukul 15.45 atau seperempat jam sebelum acara dimulai, warga yang ingin menjajal jembatan tol terpanjang itu sudah memenuhi hampir separo ruas jalan tol menuju garis start. ’’Tolong, untuk pengendara sepeda yang ada di depan, maju sedikit ya. Soalnya, yang di belakang katanya sudah nggak bisa masukin sepedanya,’’ kata MC.
Dahlan Iskan yang ditunggu-tunggu untuk menandai dimulainya uji coba jembatan tersebut akhirnya muncul. Peserta langsung berebut mengerumuni mantan Dirut PLN itu sambil bersorak sorai. Baru setelah pemberangkatan peserta, lautan manusia yang semula penuh dan bising tersebut mulai terurai.
Jawa Pos yang ikut menyusuri jembatan tol Nusa Dua–Ngurah Rai–Tanjung Benoa itu menjumpai jalan yang dibangun tidak selalu lurus. Jalan tersebut justru dibuat berkelok-kelok dengan simpang susun di bagian tengah untuk menghubungkan ke tiga arah yang berbeda: bandara, pelabuhan, dan wisata Nusa Dua.
Naik turun jalan tersebut juga tidak normal. Jalan awalnya justru sedikit mendaki, lalu menurun ketika menjauhi tepi daratan. Sekali dua kali pemandangan pesawat yang melintas dari dekat pun menambah rasa kagum.
General Manager Pelindo III Cabang Tanjung Benoa Prasetyo menjelaskan, pembangunan jembatan tol tersebut dimulai dari rencana pemerintah daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk membangun jalan alternatif dari Denpasar menuju Nusa Dua. Selama ini, masyarakat yang ingin bepergian ke dua daerah tersebut harus melewati jalan darat yang memutar di Bypass Ngurah Rai. Karena itu, tercetus ide untuk menghubungkan Pulau Seranggan dan Tanjung Benoa dengan jembatan sepanjang 7,5 kilometer.
Sayangnya, rencana yang sudah dalam tahap studi kelayakan itu punya satu masalah. Jembatan tersebut terimpit dua jalur moda transportasi. Wilayah yang akan dibangun jembatan itu biasa dilewati pesawat terbang untuk mendarat. Di sisi lain, kapal juga masuk ke Pelabuhan Benoa melalui wilayah tersebut.
”Angkasa Pura memberi syarat agar tinggi maksimal jembatan tidak lebih dari 46 meter di atas permukaan laut. Padahal, Benoa yang sedang dikembangkan menjadi turn around port (titik balik untuk kapal pesiar, Red) memerlukan ketinggian jembatan setidaknya 49 meter di atas permukaan laut,” tutur Prasetyo yang mengaku terlibat dalam awal konsep proyek tersebut.
Pras, sapaan akrabnya, yang sebelumnya bertugas di tim percepatan Benoa Cruise Center (rencana Pelindo III untuk mengembangkan Tanjung Benoa sebagai pelabuhan kapal pelayaran) diminta segera mencari solusinya.
Tim akhirnya mengusulkan untuk membelokkan jalur yang seharusnya lurus agar tak mengganggu pengembangan Pelabuhan Benoa. Jadilah desain pertama jembatan antara Nusa Dua dan Tanjung Benoa yang berbentuk setengah lingkaran.
”Jadi tak melintasi alur laut, tapi lebih ke sisi dalam. Dengan begitu, kapal masih bisa masuk, tapi jembatan bisa dibangun serendah mungkin,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, Pras juga menemukan alternatif untuk menambah jalur menuju Bandara Ngurah Rai. ”Tapi, kami bilang tak berani merencanakan karena itu bukan tanah kami. Melainkan tanah milik Angkasa Pura,” ujarnya.
Kendala kepemilikan tanah itu dilaporkan apa adanya pada rapat koordinasi (rakor) BUMN. Pelindo III sudah membulatkan tekad untuk mengajak kerja sama PT Jasa Marga. Pertimbangannya, jalan tol bukanlah core business Pelindo III. Sayangnya, tawaran tersebut direspons kurang antusias oleh pihak Jasa Marga.
Sulitnya Pelindo III menggandeng pihak lain itu mendapatkan perhatian Direktur Pengembangan Pelindo III ke Deputi BUMN Bidang Infrastruktur Sumaryanto. ”Setelah melalui pendekatan insentif oleh Pak Sumaryanto, akhirnya kami bisa bekerja sama dengan Jasa Marga. Sekalian juga Angkasa Pura supaya jalurnya bisa langsung ke bandara. Yang terakhir, kami bekerja sama dengan BTDC (Bali Tourism Development Corporation, Red) karena terkait dengan pariwisata,” ungkap Pras.
Setelah itu, pada 26 Oktober 2010, pihak-pihak yang ditunjuk Kementerian BUMN akhirnya membahas perlunya dibentuk konsorsium. Dalam proses, konsorsium pun terus melebar. Dengan pertimbangan mempermudah dan mempercepat proses, konsorsium pun memutuskan untuk mengajak beberapa kontraktor BUMN. Mulai Adhi Karya, Waskita Karya, hingga Hutama Karya akhirnya bergabung dalam konsorsium.
Akhirnya, dengan dana pinjaman Rp 1,7 triliun dari gabungan perbankan pelat merah, konsorsium tersebut berhasil memenangi tender proyek. ”Setelah itu kami langsung bergerak cepat. Dan alhamdulillah, ternyata kontur tanahnya sangat mendukung. Jadinya, 14 bulan sudah rampung,” ungkapnya. (*/c5/c9/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hadi Apriliawan, Penemu Mesin Pasteurisasi Susu Listrik
Redaktur : Tim Redaksi