jpnn.com - Banyak yang belum tahu sisi lain kehebatan plasma konvalesen: bisa menimbulkan imunitas untuk orang yang belum terkena Covid-19.
Benarkah begitu?
BACA JUGA: Konvalesen Monica
"Benar," ujar Dr dr Theresia Monica Rahardjo, orang pertama di Indonesia yang menerapkan terapi plasma konvalesen untuk pasien Covid-19.
Monica memang ahli anestesi. Namun, dia juga ahli konsultan ICU.
BACA JUGA: Doni Monardo Ajak Penyintas Covid-19 Jadi Donor Plasma Konvalesen
"Cuci plasma itu makanan saya sehari-hari," ujar Monica.
"Saya mendalami virus, DNA, RNA dan seterusnya," kata Monica.
BACA JUGA: Wakil Ketua DPR RI Pertanyakan Alasan Penelitian Vaksin Nusantara Ditunda Sementara
"Tesis S-2 saya di ITB soal genetika dan biologi molecular," tambahnyi.
Namun, Monica tidak mau diajak bicara soal penumbuhan imunitas lewat konvalesen. "Lagi sensitif," kata Monica.
Tentu dia juga tidak mau saya ajak bicara soal sel dendritik. Yang lagi ramai dipro-kontrakan. Seperti yang akan dilakukan lewat Vaksin Nusantara.
Dia tidak mau bicara soal itu. Dia ingin konsentrasi dulu di terapi plasma Konvalesen (TPK). Agar benar-benar sukses dan Indonesia tercatat dalam prestasi dunia di bidang konvalesen.
"Saya tidak menyangka akhirnya terapi plasma konvalesen diterima secara luas," kata Monica.
Dia ingat awal-awal saat memperkenalkan konvalesen: penentangnya begitu banyak –dari kalangan dokter sendiri. Tapi Monica tidak mau mengingat-ingat itu lagi.
"Terlalu menyakitkan," katanyi. "Yang penting Konvalesen sekarang sudah diterima secara luas," tambahnyi.
Proses ''menyakitkan'' itulah yang kini lagi dialami tim Vaksin Nusantara.
Izin uji coba fase 2-nya tetap belum keluar –sampai sekarang. Kabarnya BPOM bahkan minta uji coba itu diulang lagi. Bukan saja mulai dari fase pertama, pun harus dari tahap sebelum fase pertama.
Kenapa konvalesen diizinkan? Itu karena Vaksin Nusantara menyebut dirinya ''vaksin''. Sedang konvalesen menyebut dirinya ''terapi plasma Konvalesen''.
Jadi, semua itu ternyata benar-benar hanya menyangkut definisi vaksin. Bukan lagi soal bisa atau tidaknya menumbuhkan imunitas.
Bahwa konvalesen maupun dendritik bisa menumbuhkan imunitas tidak ada yang membantah. Hanya saja tidak boleh disebut vaksin.
Ahli virus seperti Prof Dr Choirul Anwar Nidom sangat mendukung Vaksin Nusantara. Bahkan Prof Nidom menilai lewat proses Vaksin Nusantara lebih bagus daripada lewat konvalesen.
"Prinsipnya sih mirip. Sama-sama memberi atau menginduksi antibodi dari luar," ujar Prof Nidom, penemu vaksin Flu Burung itu.
"Perbedaannya, konvalesen bisa menimbulkan ketidakcocokan protein," ujar guru besar Universitas Airlangga Surabaya itu.
Perbedaan lainnya, kata Prof Nidom, penumbuhan imunitas lewat pemberian konvalesen harus berulang. Itu karena titer yang bisa turun. "Tapi lewat dendritik tidak harus berulang," ujar Prof Nidom.
"Itu karena dendritik bisa menurunkannya pada progeni dendritiknya," katanya.
Dari sinilah kelihatannya muncul istilah yang pernah ramai dibahas: Vaksin Nusantara itu untuk seumur hidup.
Berarti, ternyata, yang penting, ada cara selain vaksin untuk menumbuhkan imunitas. Bisa vaksin, bisa konvalesen, bisa juga dendritik seperti yang dipakai oleh Vaksin Nusantara.
Maka, sebagai bukan ahlinya, saya hanya bisa bertanya: mengapa hanya cara vaksinasi yang diperbolehkan.
Terapi Plasma Konvalesen akhirnya memang diizinkan. Pun di Amerika. Dasar pemberian izin itu adalah bukti kenyataan.
Bukti kenyataan itu –dalam kasus konvalesen– didapat melalui perjuangan dokter Monica.
Tapi itu hanya bisa dilakukan lewat apa yang disebut perjuangan otonomi pasien.
Artinya, pasien punya otonomi untuk memilih: mau disembuhkan dengan cara apa. Untungnya banyak pasien Covid yang minta disembuhkan lewat terapi plasma Konvalesen. Dan ternyata terbukti: berkat TPK itu benar-benar muncul imunitas di tubuh pasien.
Apakah berarti Vaksin Nusantara juga harus menempuh jalur memutar yang sudah dilakukan terapi plasma konvalesen?
Entahlah. Seandainya iya pun. Saya akan jadi relawan untuk mencari orang yang mau secara otonom menjalani ''terapi vaksin nusantara'' –kata vaksin di situ sebagai merek, bukan sebagai vaksin.
Misalkan cara itu yang akan ditempuh. Lalu terbukti. Kian banyak yang mau menjalaninya. Lalu akhirnya diizinkan. Maka bangsa ini memang harus selalu lewat jalan memutar –dan karena itu sering kalah cepat. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi