Jalan Panjang Menuju Bumi Manusia

Senin, 28 Mei 2018 – 22:55 WIB
Hanung Bramantyo. Foto dok JPG/JPNN.com

jpnn.com - Ketika kuliah semester III di IKJ, Hanung Bramantyo pernah menghadap Pram, sapaan Pramoedya. Dia mengutarakan niat untuk memfilmkan Bumi Manusia, novel fenomenal yang kali pertama terbit pada 1980.

Suami aktris Zaskia Adya Mecca itu membaca karya Pram sejak SMA. ’’Baca novel Pak Pram waktu itu jadi suatu hal yang sangat keren karena bisa sembunyi-sembunyi dari aparat,’’ kenang Hanung saat pengenalan cast di Desa Gamplong, Sleman, Jogjakarta, Kamis (24/5).

BACA JUGA: Layakkah Iqbaal Ramadhan Perankan Sosok Minke?

Bagaimana respons Pram mendengar ucapan mahasiswa yang baru berusia 20-an tersebut? ’’Pak Pram tertawa. Lalu, dia bilang, ’Novel saya ini sudah ditawar (sutradara AS) Oliver Stone. Mohon maaf saya tidak bisa bantu kamu’,’’ kata Hanung menirukan jawaban Pram.

Saat akhirnya benar-benar ditunjuk Falcon Pictures untuk menyutradarai film Bumi Manusia, Hanung sangat bersyukur. ’’Saya fanboy Pram sejak remaja. Ini benar-benar mimpi yang terwujud,’’ tuturnya.

BACA JUGA: Zaskia Mecca: Sekarang Suka Nyesel

Salman Aristo yang digandeng Hanung untuk menggarap skenario tidak kalah excited. Dia mengerjakan naskah dengan sangat hati-hati. ’’Ini diambil dari novel mahakarya dan saya pribadi pengagum Pram,’’ ucap Salman.

Untuk mewujudkan dunia Minke yang sempurna, Hanung dan timnya bekerja sangat keras. Mereka membangun set syuting di Desa Gamplong, Sumberrahayu, Kabupaten Sleman, Jogjakarta.

BACA JUGA: Gegara Hanung Bramantyo, Iwan Fals Isi Soundtrack The Gift

Letaknya sekitar 20 kilometer dari pusat kota Jogja. Gamplong merupakan desa wisata. Dikenal sebagai penghasil kain tenun. Di sana terdapat lahan seluas 10 hektare yang digunakan untuk set film. Namun, yang dipakai baru sekitar 2,3 hektare.

Sebelum mengenalkan cast, Hanung menunjukkan set syuting yang baru setengah jadi tersebut. Di lokasi itu, terdapat dua set utama. Yakni, bangunan-bangunan Batavia seperti benteng dan kawasan pecinan. Hanung lantas mengajak berjalan ke arah bangunan dua tingkat yang masih dikerjakan.

’’Ini set rumah Annelies. Masih 50 persen memang, dibangun permanen untuk memastikan aman digunakan syuting,’’ jelas sutradara yang sebelumnya menggarap film Sang Pencerah, Kartini, dan Sultan Agung tersebut.

Rumah Annelies memegang peran cukup penting dalam novel. Bangunan itu bukan hanya tempat pertemuan Minke dengan Annelies.

Lebih penting dari itu, di sanalah Minke yang semula menganggap rumah tersebut angker dan sangat Belanda melihat seorang perempuan berwajah Jawa, tetapi berpikiran Eropa. Yaitu, Nyai Ontosoroh, ibu Annelies. Nyai Ontosoroh yang dipandang sebagai gundik oleh masyarakat setempat justru mengembangkan nilai-nilai humanis di rumah tersebut.

Sekitar 300 meter dari rumah itu, ada set kedua. Yakni, set kawasan Kranggan, Surabaya, yang banyak menjadi latar dalam novel. Tampak beberapa bangunan rumah dan kawasan pecinan. Di tengahnya terdapat jalur trem uap. ’’Gambaran kotanya seperti ini, nanti ditambahkan CGI,’’ ungkap Hanung.

Mengapa tidak melakukan syuting di Surabaya? Atau kawasan pecinan di Lasem, misalnya? Menurut Hanung, membangun set baru merupakan pilihan yang lebih efektif daripada menggunakan tempat yang sudah ada. Sebab, tampilan kota saat ini telah berubah drastis.

’’Apakah fungsinya masih sama dengan era 1800–1900-an? Banyak yang sudah jadi rumah pribadi dan toko kelontong. Kalau harus syuting di sana, berarti kami mengubah fungsi, mengganggu mobilitas warga setempat,’’ paparnya.

Sebelumnya, lokasi di Desa Gamplong itu dijadikan tempat syuting untuk film biopik Sultan Agung. Pembangunan set mulai dilakukan tiga bulan lalu dan dijadwalkan selesai sebelum syuting dimulai pertengahan Juli mendatang. Total, dibutuhkan waktu sekitar empat bulan.

Hanung menuturkan, lokasi tersebut nanti bisa digunakan para sineas lain yang ingin membuat film-film biopik sehingga tidak harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar. Pemikiran itu berawal dari pengalamannya saat belajar film di sanggar teater Teguh Karya. Dia melihat, rumah Teguh yang luasnya sekitar 2.000 meter persegi dipakai untuk set syuting.

’’Bisa untuk set kos-kosan, hotel, bahkan tempat kumuh, apa saja. Itu hal yang luar biasa,’’ ujarnya. Karena itu, ketika membuat film Sang Pencerah (2010), Hanung memutuskan untuk membangun set sendiri.

Sebelum ’’berjodoh’’ dengan Desa Gamplong, Hanung berkeliling Jogja, Bantul, dan Gunungkidul. ’’Yang kami jaga, kami tidak mengubah kontur apa pun dari desa ini. Tidak akan diubah jadi modern. Di sini memang khusus untuk syuting film-film sejarah, film biopik,’’ tandasnya. (nor/c14/na)

 

BUMI MANUSIA

Sutradara : Hanung Bramantyo (co-director: Quirine van Heeren)

Skenario : Salman Aristo

Produksi : Falcon Pictures

Pemeran : Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Donny Damara, Ayu Laksmi

 

Perjalanan Film

2014

Falcon Pictures mendapatkan lisensi novel Bumi Manusia untuk dijadikan film.

 

2017

Falcon menunjuk Hanung sebagai sutradara. Hanung menggandeng Salman sebagai penulis skenario. Sejak itu, naskah mulai disusun.

 

2018

Mei memasuki tahap finalisasi skrip, pengenalan cast, dan proses reading. Syuting bakal dilaksanakan mulai pertengahan Juli hingga Agustus nanti.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soesilo Toer si Doktor Pemulung Sampah, Mulai Takut Mati (6)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler