jpnn.com - Soesilo Toer, doktor ekonomi politik yang kini jadi pemulung sampah, pernah menikmati kemewahan di negeri orang. Kini, adik Pramoedya Ananta Tour itu harus hidup dengan kesederhanaan. Meski demikian dia bangga menjalani.
NOOR SYAFAATUL UDHMA, Blora
BACA JUGA: Soesilo Toer Doktor Pemulung Sampah, Dituduh PKI, Diarak (5)
SPREI itu sudah usang. Motifnya tingggal lamat-lamat. Tak begitu kelihatan. Tetapi, pemiliknya, Soesilo Toer, membangga-banggakan. Itulah sprei paling istimewa yang ada di rumahnya. Dipergunakan untuk menghormati tamu yang menginap.
Wartawan Jawa Pos Radar Kudus ditawari untuk bermalam di rumah yang pernah ditinggali Pramoedya Ananta Toer itu. Soes -panggilannya- setengah memaksa. Dia telanjur mengganti sprei lengkap dengan sarung bantalnya.
BACA JUGA: Soesilo Toer, Doktor Pemulung Sampah, Dulu Kaya Raya (4)
Bukan sembarangan. ”Itu saya dapat dari tempat sampah juga. Hasil memulung,’’ ujarnya membuka rahasia.
Hasil memulungnya bukan hanya dijual. Tetapi juga dimanfaatkan untuk perlengkapan rumah tangga. Selain sprei, ada cangkir. Dia mengatakan cangkir itu sangat bagus (Betul-betul dengan menggunakan kata sangat).
BACA JUGA: Soesilo Toer si Doktor Pemulung Sampah, Disindir Istri (3)
Wartawan Jawa Pos Radar Kudus sempat berpikir mungkin cangkir kuno. Bahkan ingin membelinya. Soesilo mengambil cangkir itu dari tempat penyimpanan. Diperlihatkannya kepada wartawan Radar Kudus dengan menimang-nimang.
Ternyata cangkir kaca. Sudah bentet alias retak pula. Ada logo berbagai produk salah satu perusahaan minuman.
Keramik yang tertata rapi di teras juga hasil mulung. Dia kumpulkan sedikit demi sedikit. Hari demi hari. Sampai delapan tahun. Bukan keramik utuh melainkan pecahan-pecahan. Ketika sudah cukup, lantas dipasang.
”Nah, yang begini ini nilainya lebih yang absolut. Saya justru bangga,” ujarnya sambil menunjuk keramik warna-warni yang menghiasi teras rumahnya.
Nah, kalau cangkir retak saja dia banggakan. Apalagi sprei. Maka ketika wartawan Radar Kudus ingin membatalkan rencana menginap, Soesilo kecewa.
Sprei itu dipergunakan untuk membungkus kasur tipis di kamar dekat ruang kerjanya. Itulah kamar yang dulu ditempati Pram -panggilan Pramoedya Ananta Toer- sewaktu masih tinggal di rumah itu. Kamar itu terletak di bagian kanan rumah.
Merupakan bangunan tambahan. Saat wartawan Radar Kudus masuk, kondisinya gelap. Listriknya mati. Ada sederet buku usang di rak yang menempel di tembok.
Kamar itu disediakan untuk para tamu yang ingin mengenang kehidupan Pram. Pernah ada beberapa dosen dari Jogja dan Jakarta yang menginap di kamar tersebut. Bahkan pernah juga tamu dari luar negeri.
Pemerintah Kabupaten Blora menangkap peluang. ”Kalau dibangun bisa menarik wisatawan,’’ kata Wakil Bupati Blora Arief Rohman yang ditemui di rumah kelahirannya.
Rumah Soesilo sebenarnya cukup besar. Lebar depan sekitar delapan meter. Panjangnya kira-kira 15 meter lebih. Halamannya bisa digunakan untuk bermain badminton.
Rumah bersejarah itu tidak terawat. Pintunya tampak kusam. Begitu juga jendela yang didominasi kayu. Lapuk dan reyot. Pintu utama harus diganjal kursi agar bisa tertutup rapat. Seluruh plafon di ruang utama yang menjadi perpustakaan telah jebol.
Di sekitar rumah, terdapat berbagai jenis tanaman. Ada pohon jambu, mengkudu, pisang, pepaya, srikaya, dan aneka buah lain. Namun kondisinya tidak terawat. Tidak pula disiangi. Rerumputan tumbuh liar di samping rumah induk menuju kamar Pram. Tinggi-tinggi lagi. ”Pemerintah sudah berencana membangun rumah itu,’’ tambah Arief.
Rumah itu bersejarah. Sebab Toer bersaudara kecuali Pram lahir dan tinggal di sana. Bahkan neneknya, yang diceritakan Pram dalam novel Gadis Pantai juga sempat tinggal di rumah itu. Turut memasak dan membiayai kehidupan mereka.
”Kalau pagi memasak untuk kami. Kalau sore metani Oemi Sjafaatoen Toer (salah satu kakak Soesilo) di depan rumah. Tahu kan metani? Itu lho cari kutu,” jelas Soes mengajak bercanda.
Pram lahir di rumah lain. Rumah itu hingga saat ini masih ada. Lokasinya tidak jauh dari rumah sekarang. Kendati demikian, Pram besar di rumah yang saat ini ditempati Soesilo sekeluarga.
Sebenarnya, Toer bersaudara itu 10 orang. Mereka lahir dari ibu Oemi Saidah dan bapak Mastoer. Yang pertama lahir sebelum waktunya. Meninggal. Namun, sempat diberi nama Ahmad.
Beberapa tahun kemudian, baru lahir Pramoedya yang ketika mudanya sempat dipangggil Mas Moek oleh adik-adiknya. ”Seharusnya Mas Moek itu anak kedua,” kenangnya.
Setelah Pram, lahir Prawito Toer yang kemudian menjadi Walujadi Toer. Disusul Koenmarjatoen Toer yang kemudian menjadi Ny. Djajoesman, dan Oemi Sjafaatoen Toer yang menjadi Ny. Mashoedi. Setelah itu berturut-turut lahir Koesaisah yang menjadi Ny. Hermanoe Maulana, Koesalah Soesbagyo Toer, Soesilo Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti.
Begitu berartinya rumah tersebut, Pram pernah berkeinginan merenovasi. Diperbesar juga. Malah akan dibikin tiga tingkat. Nantinya akan dijadikan gedung kebangkitan Kota Blora.
Dia sudah membawa uang Rp 50 juta ke Kota Sate. Namun rencana itu tidak dilanjutkan. Penyebabnya kecil. Hanya perbedaan pendapat di keluarga.
Soes bercerita, waktu itu tanah di samping rumah sudah digali. Dalamnya satu meter, lebar satu meter. Karena musim hujan air kemana-kemana. Salah satu adik Pram marah. ”Bisa roboh rumah ini,” katanya.
”Pram kan memang tidak mau dikritik. Makanya, uang Rp 50 juta itu diambil lagi lalu pulang ke Jakarta,” kenang Soes yang biografinya hendak ditulis oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Saat ini, dari sembilan bersaudara tinggal dua orang. Soes dan kakaknya, Koesaisah Toer. Karena Koesaisah tinggal di Jakarta, maka Soes-lah yang menempati rumah peninggalan orang tuanya. ”Pemkab katanya mau bangun, tetapi sampai sekarang belum juga direalisasi,” tuturnya.
Wakil Bupati Blora Arief Rohman mengaku, Pemkab Blora memang berupaya membangun rumah itu. Pihaknya masih merundingkan usaha melestarikan rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer itu.
”Biar turis atau pengunjung sekalian dapat beristirahat di sana,” kata Arief yang tinggal di lingkungan pesantren ini.
Mendengar ungkapan Arief itu, Soes tersenyum. Hingga kerutan matanya terlihat. Keningnya membentuk garis bergelombang. Sedangkan matanya yang sipit itu semakin menyipit.
Soes sebenarnya juga berkeinginan membangun rumah itu. Tetapi, apa daya. Hidupnya sendiri memprihatinkan. Hasil penjualan buku, sesekali diundang berceramah, serta memulung hanya cukup untuk hidup sehari-hari.
Ada usaha lain yaitu beternak. Tapi, yang diternak hanya dua ekor kambing dan belasan ekor ayam. Dua kambing sangat jinak. Dibiarkan berkeliaran. Di dalam rumah juga. Ketika Soes, istri, dan wartawan radar Kudus mengobrol, dua kambing itu menemani. Ketika diusir, mereka pergi tapi, masuk lagi.
Ketika pintu dan jendela ditutup, kambing itu menyodok-nyodoknya dengan kepala. ”Sering membuka pintu atau jendela sendiri,’’ ujar Suratiyem, istri Soes.
Dialah yang setiap hari memberi makan kambing itu. Soes yang mencarikannya dengan memulung buah dan sayur apkir.
Ayam-ayamnya juga dibiarkan berkeliaran. Dulu, semula hanya dua ekor. Jago dan babon. Dibeli Rp 180 ribu. Lama-lama berkembang biak menjadi banyak. Ada yang dimasak sendiri, ada pula yang dijual. Uangnya untuk memenuhi kebutuhan.
Untuk makanan ayam, Soes biasa mendapatkannya dari sisa makanan di restoran-restoran. Sayur, sosis, roti, daging, hingga nasi. Kadang-kadang dapat pula sisa makanan dari tetangga.
Secara ekonomi, Soes merasa tidak miskin. Hidupnya tercukupi. Penjualan buku-buknya juga masih jalan. Anaknya yang berkeliling untuk memasarkan buku-bukunya. Sedangkan dia dan istri melayani pembelian di rumah. Januari lalu mendapat omzet Rp 4 juta.
Malah pernah suatu ketika ada pengunjung perpustakaan yang memborong bukunya. Total Rp 2 juta. Semua habis untuk operasional penerbitan serta memenuhi kebutuhan keluarga.
Lantas, kenapa Soesilo tetap memulung sampah? ”Bagi saya memulung itu menjadikan nilai lebih yang absolut. Saya menikmati,” terangnya.
Dia melakukan itu setelah terkucil dan diperlakukan tidak adil sepulang dari Rusia. Itu hanya gara-gara dia dituding berhaluan komunis seperti kakaknya.
Saat wartawan Radar Kudus datang k erumahnya, Soesilo Toer berulang tahun. Tidak ada acara khusus untuk menyambutnya. Dia malah kebanjiran undangan untuk mengisi acara. ”Terima kasih, berkat tulisan Radar Kudus, saya semakin terkenal. Buktinya saya banyak job,” paparnya lalu tertawa.
Meski hampir menyamai usia Pram, Soes mengaku mulai diliput sindrom takut mati. Takut jika belum bisa mengalahkan Pram. ”Ini masih 83 hari lagi untuk menyamai usia Pram. Tetapi saya justru gelisah. Gelisah jika ajal tiba-tiba datang, tetapi saya belum mengalahkannya,” katanya.
Maka, selama masih hidup, dia akan terus memulung, menulis, memelihara kambing, juga bercocok tanam.
”Kalau saya hidup tetapi tidak berfungsi, saya lebih baik bunuh diri. Untuk apa hidup tetapi menyusahkan orang. Tapi, beruntungnya hingga saat ini saya masih berfungsi. Nggak jadi bunuh diri deh,” candanya. Begitulah Soesilo Toer. Hidupnya unik. Bikin orang tergelitik. (*/lin)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Obsesi Soesilo Toer, Doktor yang jadi Pemulung Sampah (2)
Redaktur & Reporter : Soetomo