Jalan Singapura

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 24 Mei 2022 – 18:37 WIB
Patung Merlion dengan latar belakang Marina Bay Sands Singapura. Foto: Joyce Fang/The Straits Times

jpnn.com - Sejarah selalu berulang. Begitu kata orang bijak pandai. Akan tetapi, tokoh sejarah hanya lahir satu kali.

Orang-orang yang mengukir sejarah besar hanya lahir sekali dalam sejarah.

BACA JUGA: Komisi I Bakal Panggil Menlu Bahas soal UAS & Singapura

Itulah yang terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa seluruh dunia.

Indonesia mengalami hal itu dengan Sukarno, Singapura mengalami hal itu dengan Lee Kuan Yew.

BACA JUGA: SEA Games 2021: Singapura Tak Berdaya, Timnas Basket Indonesia Unggul Telak

Dua orang itu adalah tokoh besar yang lahir bersamaan dengan kelahiran bangsanya sebagai negara bangsa, ‘’nation-state’’.

Dua-duanya merupakan tokoh besar yang dilahirkan oleh zamannya. Sukarno lahir dan besar dari gejolak zaman pada era kolonialisme, dan Lee bergumul untuk menciptakan identitas sebuah bangsa pasca-kolonialisme.

BACA JUGA: Dulu, Lee Kuan Yew Belajar GBHN dari Pak Harto

Sukarno meninggalkan PR yang sangat banyak bagi bangsa Indonesia.

Sampai sekarang para penerus Sukarno seperti meraba-raba arah pembangunan bangsa yang diwariskan para founding parents negara.

Setiap kali ganti rezim, setiap kali juga ganti kebijakan, tidak ada kesinambungan yang menjamin arah pembangunan yang berkelanjutan.

Lee Kuan Yew (1923-2015) meningalkan Singapura dengan PR yang sudah dia tuntaskan. 

Dia beruntung meninggalkan Singapura dan menunggui proses transisinya dari Goh Chok Tong sampai kepada sang anak Lee Hsien Loong sekarang ini.

Singapura terlihat berjalan di atas rel dan fondasi yang dibangun oleh Lee.

Lee mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah dunia. 

Dia mematahkan mitos yang dipercaya bahwa kemakmuran sebuah bangsa bisa dicapai melalui demokrasi dan kapitalisme.

Itulah yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama yang memproklamasikan ‘’the end of history’’ pada 1990.

Ketika itu Uni Soviet sebagai ikon komunisme dunia runtuh.

Amerika dengan sistem kapitalisme dan demokrasi liberal menjadi penguasa dunia.

Kapitalisme-liberal diyakini menjadi satu-satunya sistem yang paling tepat untuk membawa kemakmuran dan kesejahteraan manusia.

Alasannya, sistem inilah yang paling tepat dan paling sesuai dengan nilai dasar kemanusiaan yang menghendaki kebebasan.

Pandangan Fukuyama ini kontroversial dan banyak mendapatkan reaksi keras.

Akan tetapi Fukuyama bersikeras bahwa pandangannya benar.

Pada akhirnya kapitalisme-liberalisme yang bakal menjadi juara dunia.

Negara-negara yang belum menerapkan kapitalisme-liberalisme belum mencapai akhir sejarah, karena masih menjalani proses.

Singapura menjadi bukti tesis Fukuyama keliru.

Singapura menjadi negara makmur dan sejahtera tanpa perlu ada demokrasi.

Dalam masa 50 tahun kemerdekaannya sejak 1965 Singapura mengebut membangun negara dan bertransformasi dari negara ketiga menjadi negara pertama.

Lee Kuan Yew menjadi artsitek utama transformasi itu.

Seperti yang diceritakannya dalam memoar ‘’From the Third to the First’’, Lee menggunakan tangan besi untuk menghadapi komunisme yang menguat pasca ditinggalkan Inggris.

Lee juga bertindak keras menghadapi korupsi dan inefisiensi yang menjadi bagian dari kebiasaan etnis Tionghoa.

Lee, pengacara berpendidikan Cambridge, dikenal sangat sedikit memberi toleransi untuk oposisi.

Namun, dia menerapkan demokrasi ‘’one man one vote’’ ala seperti di Barat dengan memberikan hak kepada setiap warga Singapura dewasa untuk memiliki suara dalam pemilihan umum.

Lee menjadi fans berat Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher yang terkenal sebagai ‘’The Iron Butterfly’’ yang menjadi perdana menteri Inggris terlama dalam sejarah.

Thatcher menjadi perdana menteri selama 20 tahun sejak 1979 sampai 1990, dan memerintah dengan tangan besi meskipun tetap dalam koridor demokrasi prosedural.

Lee mengagumi Thatcher dan banyak mengadopsi pendekatan kesejahteraan yang dipakai Thatcher.

Selama Lee memerintah oposisi dan media independen tidak diperbolehkan tumbuh di Singapura.

Ini menyebabkan Singapore berada dalam peringkat 153 dari 180 negara dalam World Press Freedom Index.

Lee tidak peduli. Dia menerapkan hukuman keras bagi banyak pelanggaran dan penerapan hukuman mati untuk kasus pembunuhan dan perdagangan narkoba.

Orang yang membuang sisa permen karet sembarangan pun akan dikenai hukuman denda. Saking banyaknya denda yang diterapkan, Singapura diledek sebagai ‘’The Fine City’’ alias Kota Denda.

Singapura melarang penjualan permen karet, sebagai bagian dalam upayanya menjaga kebersihan, dan melarang pornografi meskipun melegalisasi industri seks. Negara ini juga menjalankan kampanye publik untuk menggunakan bahasa Inggris yang baik, menjaga kesopanan, dan kerapian.

Lee mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada tahun 1990, lalu menyerahkan kekuasaannya kepada Goh Chok Tong. Ibarat melepas kepala tetapi tetap memegang buntut, Lee masih tetap berpengaruh dengan jabatan sebagai menteri senior.

Dia menjadi "menteri mentor" ketika anak tertuanya, Lee Hsien Loong, menjadi perdana menteri ketiga Singapura pada 2004.

Sejak awal, Lee mendesain anaknya untuk menjadi putra mahkota, dan Lee cukup sabar menunggu sampai anaknya cukup matang untuk mengambil alih kekuasaan.

Dia tahu bahwa dirinya tidak selalu populer di mata rakyat, terutama kalangan anak-anak muda. Mereka yang tidak mengalami masa-masa sulit pada era 1960 dan 1970-an tidak akan memberi apresiasi terhadap perjuangan Lee dan generasinya.

Namun, Lee tidak peduli. Dia tetap bersiteguh untuk menjaga rel pembangunan yang sudah dia landaskan.

‘’Tidak relevan bagi saya soal apa pandangan anak muda Singapura tentang saya," kata Lee.

‘’Saya sudah hidup cukup lama untuk mengetahui bahwa Anda mungkin diidolakan selama hidup dan dicerca setelah meninggal."

Lee mengaku sedih ketika berpisah dari Federasi Malaysia pada 1965.

Namun, dia harus move on dan melanjutkan strategi pembangunannya dengan sepenuh keyakinan.

Singapura menjadi sukses besar melalui investasi asing yang menjadikan Singapura sebagai salah satu pusat perdagangan dan keuangan dunia.

Singapura--yang secara berkala berada di peringkat puncak sebagai tempat terbaik di dunia untuk melakukan bisnis--memberikan jaminan kesejahteraan kepada 5,4 juta warganya.

Singapura menyubsidi perumahan rakyat dan menetapkan aturan untuk melestarikan keharmonisan antara warga Tionghoa, India, dan komunitas Melayu yang menjadi bumiputera.

Etnis Melayu menjadi minoritas yang tidak terlalu menonjol dalam peran ekonomi dan politik. Akan tetapi, mereka terhibur dengan diberi posisi sebagai presiden dalam sistem pemerintahan parlementarian Singapura.

Dalam sistem ini, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan yang mengendalikan kebijakan setiap hari. Presiden sebagai kepala negara lebih banyak menjalankan peran seremonial.

Lee, anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga China kelas menengah, menempuh pendidikannya di Raffles College Singapura sebelum mendapatkan gelar sarjana hukum dari Cambridge University, Inggris.

Dia menikah dengan pengacara Kwa Geok Choo pada tahun 1950. Pada tahun yang sama saat ia membuat firma hukum Lee & Lee dengan adiknya, Lee Kim Yew.

Istrinya meninggal pada 2010 di usia 89 tahun setelah sakit cukup lama. Lee meninggal pada 2015 dan ditangisi oleh rakyat Singapura yang merasakan hasil pembangunannya.

Sepeninggalan Lee, Singapura masih tetap memegang haluan pembangunanisme yang menekankan kesejahteraan dan mengabaikan kebebasan. Lee membuktikan bahwa demokrasi liberal ala Barat tidak diperlukan di Asia.

Lee memperkenalkan konsep ‘’The Asia Value’’ Nilai Asia, yang berbeda dari ‘’Nilai Barat’’. Nilai Barat menekankan pada kepentingan individu, sementara Nilai Asia lebih mementingkan komunalisme dan kebersamaan.

Model kapitalisme-otoritarian ala Singapura ini sekarang diterapkan di China dan mendapatkan sukses besar. Ketika pemimpin China Deng Xiaoping memulai reformasi ekonomi China pada awal 1990-an, dia terus terang memuji Singapura dan ingin melakukan kopi-paste.

Jalan Singapura itulah yang sekarang ditempuh oleh China dengan sukses. Banyak negara lain yang tergoda untuk mengikuti jalan yang sama, membangun ekonomi tanpa demokrasi.

Indonesia juga sangat tergoda untuk mengikuti jalan Singapura. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler