jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menyatakan setuju dengan wacana Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan kembali.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu mengatakan, Perdana Menteri senior Singapura, Lee Kuan Yew, justru belajar GBHN dari Presiden Soeharto, lantas diterapkan di negaranya.
BACA JUGA: Pidato di Acara Peringatan Hari Konstitusi, Ketua MPR Singgung Pentingnya GBHN
"Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew sangat mengapresiasi dan bangga dengan GBHN kita di era Orde Baru itu. Singapura itu, tidak maju mundur, sudah punya panduan. Mau apa 50 tahun ke depan itu sudah dipandu oleh garis besar itu," kata Pangi, Minggu (18/8).
Pangi mengatakan, Bapak Singapura itu sangat kagum dengan GBHN yang diterapkan oleh Pak Harto. Namun, Indonesia malah menghapus GBHN tersebut.
BACA JUGA: Tak Mau Merembet ke Mana-Mana, Jokowi Tolak Keinginan PDIP
"Jadi, Lee Kuan Yew sebetulnya kagum dengan kita, dulunya. Tetapi kita, justru menghilangkan garis besar itu kan," ujarnya.
Dengan tegas Pangi mengaku mendukung dengan wacana menghidupkan kembali GBHN, seperti yang diusulkan PDI Perjuangan. Kendati demikian, harus ada kajian mendalam agar sesuai denhan konteks sekarang.
BACA JUGA: PDIP Anggap Jokowi Sudah Letakkan Pondasi GBHN
BACA JUGA: Pidato di Acara Peringatan Hari Konstitusi, Ketua MPR Singgung Pentingnya GBHN
"Tentu bagaimana kemudian menghidupkan GBHN dengan versi sekarang, tidak bisa konteks lama, karena perlu beradaptasi dulu, konteks sekarang dengan konteks lama pada masa," ucapnya.
Dia mengatakan, meski sekarang pemerintah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), tapi kadang-kadang tidak bisa memotret 20-30 tahun Indonesia ke depan. Sementara, Indonesia 50 tahun ke depan haeus dijelaskan seperti apa.
"Apakah mau jadi negara impor, negara industri, apakah kita mau menjadi negara pariwisata terbaik di dunia. Nah itu, harus dipandu garis besar itu," katanya.
Menurutnya, dengan adanya GBHN wajah Indonesia tidak berganti sesuka hati presiden terpilih. Maka itu, Indonesia tidak punya aturan main yang jelas, sehinga membuat negara ini maju-mundur.
Memang, GBHN hanya memandu saja. Tapi, siapapun presiden harus tunduk kepada arah rel bingkai GBHN.
"Jadi, biarpun presidennya berganti, rel pedoman kebangsaan kita tetap dikunci oleh GBHN. Tidak bisa, orang bicara revolusi mental, bicara infrastruktur, tiba-tiba sekarang bicara SDM. Ini kan karena sekarang tidak dipandu, karena panduannya hanya lima tahun. Jadi berganti presiden, berganti selera," tuturnya.
Pada era Orde Baru, lanjutnya, arah pembangunan tidak keluar dari rel GBHN tersebut. Jadi, agenda Pak Harto menyesuaikan dengan agenda GBHN.
"Sekarang kan, presiden bertanggung jawab kepada siapa? Tidak ada. Kalau kepada rakyat, rakyat yang mana?," sergahnya.
Pada era Orde Baru, presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maka ada yang namanya presiden mandataris MPR.
"Sekarang bertanggung jawab kepada siapa? Enggak ada. Ini juga menjadi berat ke depan. Jadi, program jadinya suka suka. Dulu itu ada lompatan-lompatan yang tidak bisa dilakukan kalau keluar dari pedoman GBHN. Jadi presiden bekerja menjalankan mandat GBHN itu," ujarnya.
Kendati demikian, dia menyebut kalau GBHN jadi dihidupkan, tetap harus ada pembaharuan. Ini agar bisa sejalan dengan perkembangan zaman.
"Konteks sekarang, GBHN harus bagaimana? Harus ada pembaharuan, harus ada konteks kekiniannya. Karena tidak relevan GBHN dulu dan sekarang, karena perubahan waktu, perubahan zaman ini harus penyesuaian dulu. Tapi prinsipnya kita ini harus punya panduan 50 tahun, mau apa bangsa ini ke depan. Sekarang sudah menjadi negara pengedar narkoba terbesar kan," pungkasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDIP Yakin GBHN Bisa Membawa Kemajuan Nasional
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad