JAKARTA – Asian Agri berjanji akan mematuhi putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan 14 anak perusahaannya untuk membayar pajak berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Meskipun bersikap kooperatif dan akan segera melakukan pembayaran, namun Asian Agri tetap mengajukan keberatan.
General Manager Grup Asian Agri Freddy Widjaya, mengatakan, SKP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung atas perkara Suwir Laut dimana Asian Agri bukan pihak dan tidak pernah didakwa serta tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri.
"Namun demikian, kami tetap patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dengan melakukan pembayaran pada hari ini," kata Freddy dalam siaran pers, Kamis (20/6).
Suwir Laut adalah Manajer Perpajakan PT Asian Agri. Ia dianggap memanipulasi Surat Pemberitahuan Laporan Pajak Tahun (SPT) Asian Agri Group dalam kurun waktu 2002-2005 dan mengubah dokumen pada beberapa pendapatan anak perusahaan sehingga terjadi pengurangan pajak yang harus dibayarkan ke negara.
Dalam perjalanan kasusnya, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Martin Ponto Bidara membebaskan Suwir Laut pada 15 Maret 2012 lalu. Jaksa lantas mengajukan banding namun lagi-lagi di Pengadilan Tinggi Jakarta pada 23 Juli 2012, Suwir dimenangkan. Di tingkat MA, kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru dikabulkan.
Freddy membantah atas manipulasi yang dilakukan perusahaannya. Ia mengaku selama periode pajak yang dipermasalahkan yakni 2002 sampai dengan 2005 telah melaksanakan kewajibannya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak. Bahkan, Grup Asian Agri termasuk salah satu pembayar pajak yang besar di Industri Kelapa Sawit.
Meski demikian, korporasi ini memertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp 1,25 triliun yang diterbitkan. Jumlah tersebut melebihi total keuntungan dari ke 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri pada periode 2002-2005 yang hanya sebesar Rp 1,24 triliun, belum lagi ditambahkan denda pajak yang dikenakan sehingga totalnya menjadi Rp 4,4 triliun.
”Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100 persen keuntungan perusahaan,” tegas Freddy.
Dia berharap agar permasalahan ini dapat dilihat secara proporsional. Opini yang tidak proporsional dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan yang membina 29.000 keluarga petani plasma dan bermitra dengan 25.000 petani swadaya.
Sementara, Mohammad Assegaf selaku kuasa hukum Suwir Laut mengutip pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memertanyakan perhitungan pajak yang disebut harus dibayar kelompok perusahaan itu. Bukti valid pajak terhutang hingga kini tak bisa ditunjukkan DJP.
”Bagaimana Majelis Hakim tingkat Kasasi dapat menetapkan utang pajak tersebut? Menurut ketentuan hukum, Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum, bukan pembuktian fakta. Jadi angka Rp 1,25 triliun itu berdasarkan apa?” ungkapnya. (boy/jpnn)
General Manager Grup Asian Agri Freddy Widjaya, mengatakan, SKP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung atas perkara Suwir Laut dimana Asian Agri bukan pihak dan tidak pernah didakwa serta tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri.
"Namun demikian, kami tetap patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dengan melakukan pembayaran pada hari ini," kata Freddy dalam siaran pers, Kamis (20/6).
Suwir Laut adalah Manajer Perpajakan PT Asian Agri. Ia dianggap memanipulasi Surat Pemberitahuan Laporan Pajak Tahun (SPT) Asian Agri Group dalam kurun waktu 2002-2005 dan mengubah dokumen pada beberapa pendapatan anak perusahaan sehingga terjadi pengurangan pajak yang harus dibayarkan ke negara.
Dalam perjalanan kasusnya, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Martin Ponto Bidara membebaskan Suwir Laut pada 15 Maret 2012 lalu. Jaksa lantas mengajukan banding namun lagi-lagi di Pengadilan Tinggi Jakarta pada 23 Juli 2012, Suwir dimenangkan. Di tingkat MA, kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru dikabulkan.
Freddy membantah atas manipulasi yang dilakukan perusahaannya. Ia mengaku selama periode pajak yang dipermasalahkan yakni 2002 sampai dengan 2005 telah melaksanakan kewajibannya dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak. Bahkan, Grup Asian Agri termasuk salah satu pembayar pajak yang besar di Industri Kelapa Sawit.
Meski demikian, korporasi ini memertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp 1,25 triliun yang diterbitkan. Jumlah tersebut melebihi total keuntungan dari ke 14 perusahaan di dalam Grup Asian Agri pada periode 2002-2005 yang hanya sebesar Rp 1,24 triliun, belum lagi ditambahkan denda pajak yang dikenakan sehingga totalnya menjadi Rp 4,4 triliun.
”Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100 persen keuntungan perusahaan,” tegas Freddy.
Dia berharap agar permasalahan ini dapat dilihat secara proporsional. Opini yang tidak proporsional dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan yang membina 29.000 keluarga petani plasma dan bermitra dengan 25.000 petani swadaya.
Sementara, Mohammad Assegaf selaku kuasa hukum Suwir Laut mengutip pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memertanyakan perhitungan pajak yang disebut harus dibayar kelompok perusahaan itu. Bukti valid pajak terhutang hingga kini tak bisa ditunjukkan DJP.
”Bagaimana Majelis Hakim tingkat Kasasi dapat menetapkan utang pajak tersebut? Menurut ketentuan hukum, Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum, bukan pembuktian fakta. Jadi angka Rp 1,25 triliun itu berdasarkan apa?” ungkapnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Ketum PAN Jadi Saksi Korupsi Alkes
Redaktur : Tim Redaksi