Jalur Utama Kamuflase

Sabtu, 12 Mei 2012 – 11:32 WIB

BOGOR- Ada yang aneh dengan kebijakan tim gabungan TNI, Polri, Badan SAR Nasional (Basarnas), dalam menentukan jalur utama evakuasi korban pesawat Sukhoi Superjet (SSJ)100 di Pasir Pogor, Cipelang, Cijeruk. Pasalnya, bila menilik lokasi terjatuhnya pesawat di koordinat 6 derajat 42 menit 4,2 detik Lintang Selatan-106 derajat 44 menit 19,5 detik Bujur Timur atau tepatnya di pundak antara Puncak Salak I-II, jalur evakuasi itu terlampau memutar jauh. Hal inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi para relawan dan wartawan.

Penelusuran tim Radar Bogor (Grup JPNN) di jalur utama, jarak dan waktu tempuh menuju titik terjatuhnya pesawat memang terasa semakin berat. Berangkat dari titik awal di salah satu kandang sapi milik Balai Embrio Ternak, tim baru dapat sampai ke puncak IV dengan waktu tempuh empat jam. Sesampainya di checkpoint pertama, tim tidak langsung dapat melihat bangkai pesawat Sukhoi, seperti yang sering terepresentasikan via foto-foto belakangan ini.

Untuk mencapai pandangan fokus, tim mesti berjalan ke arah Puncak III sekitar satu jam. Namun selama perjalanan, kontur jalan yang dilewati cukup membahayakan. Kami mesti berpegangan dengan akar pohon tua untuk dapat merayap di jalan setapak selebar 70 sentimeter. Kanan-kiri jalur itu jurang sedalam ratusan meter. Itu untuk sekadar mengambil foto.

Bila ingin mendekat dengan bangkai pesawat, maka kami mesti meneruskan perjalanan ke Puncak III via punggungannya dengan waktu tempuh satu jam. Itu pun belum bisa dibilang posisi kami cukup dekat dengan lokasi tujuan. Untuk lebih merapat, tim kembali harus melangkah ke Puncak I dengan kisaran waktu 2 jam. Namun bila menempuhnya dengan langkah gontai, maka waktu tempuh akan tersendat sekitar 45 menitan.

Nah, untuk mencapai titik koordinat jatuhnya pesawat, kami mesti berjalan turun. Tapi itu harus terlebih dahulu membuka jalur. Perjalanan ekstrahati-hati ini bisa ditempuh dengan waktu satu jam setengah. Tapi sekali lagi, punggungan Puncak I sangatlah tidak ramah. Maklum saja, kemiringan jalur tersebut mencapai 90 derajat. Tentunya perlu peralatan khusus mencapai dasar gunung. Salah-salah melangkah, kami dapat terjerembab masuk ke palung gunung. Dimana puing-puing pesawat dan beberapa jasad berada di kedalaman 200 meter di parit maut itu.

Jika ditotal jenderal, waktu tempuh via jalur utama pilihan tim gabungan itu mencapai 9-10 jam. Tentu saja jalur ini sangat menguras tenaga dan waktu. Bandingkan bila tim tetap menyusuri jalur perdananya via Cidahu, Sukabumi. Dari titik awal pemberangkatan, jalur ini dapat langsung ke Puncak III dengan waktu tempuh tiga jam. Dari situ barulah, kami mesti mengarungi jalur yang sama dengan jalur utama. Tapi dengan akses ini, kami bisa menghemat waktu enam jam.

Lebih-lebih bila dapat memotong jalan lewat Kawah Ratu. Ada juga jalur alternatif via Loji, Cigombong. Tapi jalur ini tidak diminati, karena tebingannya yang cukup ekstrem. Namun via jalur tersebut, waktu perjalanan kami hanya termakan sekitar lima jam sampai lokasi.

Pun demikian bila melewati jalur Cimelati, Desa Kutajaya, Sukabumi. Kami hanya memerlukan waktu sekitar empat jam untuk sampai lokasi jatuhnya pesawat. Sayangnya, semua pilihan akses ke lokasi kejadian seperti sengaja ditutup-tutupi tim gabungan. Karena mereka keukeuh, jalur utama lewat Cipelanglah yang merupakan akses satu-satunya. “Jalur ini sangat memutar. Atau memang tim yang sengaja memutarnya agar kami (sukarelawan dan wartawan, red) tidak mencapainya terlebih dahulu? Apakah memang ada konspirasi?” ujar salah seorang sukarelawan asal Jakarta, Anton Sembara.

Ungkapan yang tak jauh berbeda dilontarkan Polisi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Yosi Irawan. Menurut dia, bila pencarian dari titik Cidahu tidak dialihkan ke Cipelang, mungkin sejak kemarin, tim gabungan dapat menemukan langsung korbannya. “Sebenarnya lokasi tersebut berada di balik Kawah Ratu. Tapi saya juga tidak tahu kenapa jadi seperti ini jalurnya,” tukasnya.

Menyikapi itu, Pengamat Militer Hermawan Sulistyo menilai ada beberapa kejanggalan dalam proses pencarian dan evakuasi. Hal tersebut terlihat dari perintah pengerahan seluruh tim di satu jalur. Hingga, pada akhirnya kondisi ini membuat kondisi semakin memburuk.

“Jangan sampai masalah sosial seperti ini dilibatkan dalam kepentingan bisnis. Itu yang jatuhkan calon pesawat bernilai triliunan rupiah. Tentu, nama baik juga menjadi pertaruhan,” katanya.

Tak hanya itu, Hermawan bahkan menilai, sistem penyelamatan yang diterapkan Basarnas selama tiga hari terakhir salah kaprah. “Bukan hanya soal itu (Dugaan konspirasi jalur utama, red). Indonesia ini mempunyai banyak kesatuan TNI dan Polri yang bisa diandalkan di situasi seperti ini. Seperti Denjaka, Densus 88 dan Denbravo. Kenapa mereka tidak diterjunkan sejak hari pertama,” ungkapnya.

Hermawan juga menilai, alasan cuaca buruk yang sering kali dilontarkan tim gabungan dalam proses evakuasi jasad korban, bukanlah alasan yang logis. “Masak, pasukan andalan negeri ini hanya takut dengan cuaca buruk. Berarti kalau mau perang atau tempur apa harus melihat kondisi cuaca?” ketusnya.

Ia juga menilai pergerakan SAR dalam melakukan proses evakuasi terbilang sangat lambat. “Sangat lambat. Harusnya, semenjak titik koordinat pesawat dan pilot helikopter mengambil foto pesawat, evakuasi harus secepatnya dilakukan. Tanpa menunggu cuaca. Ini manusia loh, bukan bangkai binatang,” kritiknya.(gar/yus)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Paling Cepat Juni Gatot jadi Gubernur Definitif


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler