jpnn.com, JAKARTA - Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) mendukung penuh tujuan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat Indonesia.
Peningkatan asupan gizi yang memadai dan berkualitas adalah kunci membangun sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan kompetitif. Selain itu, Program MBG juga berdampak terhadap peningkatan ekosistem ekonomi bagi peternak dan petani.
BACA JUGA: Polda Sumsel Uji Coba Program Makan Siang Bergizi Gratis di SDN 145 Palembang
”JAMAN memahami bahwa upaya cepat untuk menyediakan susu dalam jumlah besar menjadi tantangan tersendiri, terutama di saat target ambisius pemerintah untuk mempercepat perbaikan gizi,” kata Sekretaris Jenderal DPP JAMAN Hadi Mustafa.
Namun, Hadi menekankan, rencana impor susu yang disiapkan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebanyak 1,8 juta ton dari Vietnam bukanlah solusi, karena justru bertolak belakang dengan janji Pemerintahan Prabowo Gibran tentang keberlanjutan kemandirian pangan dalam negeri.
BACA JUGA: Program Makan Siang Tak Bisa Instan, Prabowo: Kita Tidak Punya Tongkat Nabi Sulaiman
”Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan produksi susu lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional dan dunia. Yang perlu dimaksimalkan adalah dukungan kebijakan pemerintah. Dengan memperkuat produksi susu lokal, kita tidak hanya meningkatkan kemandirian pangan, tapi juga menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi desa,” tegasnya.
Ia menambahkan, JAMAN mendorong pemerintah serius mengembangkan kemitraan strategis dengan peternak di desa- desa sehingga program MBG dapat terlaksana tanpa ketergantungan pada impor.
BACA JUGA: Prabowo Resmi Jadi Presiden RI, Program Makan Siang Gratis di Jawa Barat Langsung Jalan
Program MBG sangat baik untuk menciptakan ’demand’ atau permintaan produksi susu, menciptakan lapangan kerja baru dan menggerakkan roda perekonomian di wilayah pedesaan.
Apabila Indonesia terus bergantung pada impor komoditas pangan, termasuk susu, maka devisa negara tergerus, posisi tawar kita di pasar internasional akan semakin lemah, APBN yang terkumpul dari pajak rakyat justru dinikmati oleh peternak luar negeri.
”Kemandirian pangan adalah fondasi bagi kedaulatan nasional, dan setiap langkah yang kita ambil harus sejalan dengan prinsip ini. Oleh karena itu, JAMAN mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan upaya lain yang lebih berkelanjutan, seperti membangun ekosistem susu lokal dengan memperbaiki kulalitas dan kuantitas para peternak di pedesaan,” urai Hadi.
JAMAN yakin, dengan kebijakan dan dukungan yang tepat, Indonesia sebenarnya mampu mencapai swasembada susu dalam jangka panjang. Pemerintah seharusnya mengarahkan anggaran dan sumber daya yang ada untuk meningkatkan produktivitas peternak lokal, meningkatkan akses mereka pada teknologi, pakan berkualitas, pelatihan yang berkala, insentif finansial dari pemerintah dan infrastruktur pengolahan susu.
Selain pengembangan susu terpadu skala Industri, pemerintah perlu meguatkan Program Pekarangan Susu di Desa, program ini bisa melibatkan masyarakat desa dalam skala kecil untuk memelihara sapi perah dengan dukungan pemerintah daerah atau koperasi peternak. Dengan pelatihan dan dukungan modal, masyarakat desa bisa memanfaatkan lahan kosong di sekitar mereka untuk budidaya sapi perah.
Hadi melanjutkan, dalam waktu dekat, untuk sementara Pemerintah perlu melakukan diversifikasi sumber susu alternatif susu nabati seperti susu kedelai, susu almond, dan susu oat bisa menjadi alternatif yang baik dan lebih terjangkau, serta mudah diolah oleh peternak skala kecil.
Langkah-langkah seperti itu dapat mengurangi ketergantungan pada susu sapi dan juga Menyediakan lebih banyak pilihan protein dan nutrisi dari sumber pangan lokal, seperti telur, ikan, dan kacang-kacangan, dapat menyeimbangkan asupan gizi masyarakat sambil mengurangi ketergantungan pada susu.
”Dengan pendekatan seperti ini, ketergantungan terhadap kebijakan impor bisa dikurangi, sehingga kemandirian pangan terutama di sektor susu dapat dicapai secara berkelanjutan,” pungkas Hadi.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean