Jangan Lupakan Peran WNI Etnis Tionghoa Sejak Masa Pra-Kemerdekaan Indonesia

Jumat, 12 Februari 2021 – 19:10 WIB
Perayaan Imlek 2021 yang digelar DPP PDI Perjuangan (PDIP) dengan tema 'Imlekan Bareng Banteng', pada Jumat (12/2). Foto: dok PDIP

jpnn.com, JAKARTA - Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan perayaan Imlek atau Tahun Baru China bisa terjadi karena etnis Tionghoa memang mempunyai sejarah panjang keberadaan di Indonesia.

WNI etnis Tionghoa terbukti ikut menghiasi wajah masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini disampaikan Bonnie ketika berbicara di perayaan Imlek 2021 yang digelar DPP PDI Perjuangan (PDIP) dengan tema 'Imlekan Bareng Banteng', pada Jumat (12/2).

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Ustaz Maaher Berkomunikasi dengan Rizieq, Janji Moeldoko, Panglima TNI Perintah Bombardir

Acara ini digelar secara virtual, sebagai bentuk patuh kepada protokol kesehatan Covid-19 dan ditayangkan secara langsung di channel resmi PDIP di Youtube @pdiperjuangan.

Bonnie menuturkan, pada tahun 1932, didirikan Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini ikut terlibat dalam politik pra kemerdekaan Indonesia.

BACA JUGA: Wali Kota dan Ketua DPRD PDIP Ini Cerita Soal Perempuan Tionghoa di Politik

"Pada tahun 1932 ada Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Dia seorang etnis Tionghoa yang berwawasan nasionalis Indonesia. Dia juga berkawan dengan Bung Karno," kata Bonnie.

Bahkan ada seorang perwira TNI AL beretnis Tionghoa bernama John Lie, yang sudah ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

BACA JUGA: Selamat Hari Raya Imlek, 32 Napi Terima Remisi Khusus

"Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi penting, berdampingan dengan sejarah kita," jelas Bonnie.

Bonnie mengatakan kini isu rasial terhadap WNI etnis Tionghoa terjadi, sebenarnya juga sudah ada dari masa kolonialisme Belanda.

Penjajah saat itu mengelompokan masyarakat di Hindia Belanda berdasarkan segregasi ras atau yang disebut dengan Regering Reglement pada 1854.

Pertama orang kulit putih atau Eropa, kemudian orang Timur Asing dan orang Cina, serta Inlander atau pribumi.

"Ini sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif," kata Bonnie.

Karena itu, dia menyebut mereka yang berpikir seperti itu di saat ini sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran 'pra ke-Indonesiaan' atau sebelum awal abad 2020.

Titik perlawanan terhadap kebijakan rasialis Kolonial itu adalah ketika para pemuda bersatu pada tahun 1928 atau peristiwa Sumpah Pemuda.

"Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerahnya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia. Jadi meninggalkan kesadaran pra Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras," ungkap Bonnie.

Keinginan bersatu ini, selain pada saat Sumpah Pemuda, juga diperkuat oleh pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Yang mengatakan Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.

"Pahamnya nasionalisme modern yang tidak tersekat latang belakang agama, etnis, maupun, ras," tutur Bonnie.

Perayaan Imlek di era Presiden Soekarno diperbolehkan dan tidak dilarang. Di masa Orde Baru, masa Presiden Soeharto, Imlek dilarang melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Setelah dilarang hampir 30 tahun, cerita Bonnie, masa kepemimpinan Soeharto berakhir dan Imlek kembali boleh dirayakan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2000. Kebijakan ini lalu disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002.

"Sehingga orang tidak hanya warga Tionghoa tapi non Tionghoa ikut merayakannya sebagai satu rasa kebersamaan, sebagai satu rasa dan bangsa yang tidak membeda-bedakan ras dan etnis," kata Bonnie.

Ditegaskan Bonnie, jika ada orang saat ini masih berpikiran rasis terlebih kepada etnis Tionghoa maka mereka adalah orang yang terjebak dalam pemikiran kolonialisme.

"Itu kami kategorikan orang yang berada dalam kesadaran orang di bawah kesadaran pra Indonesia atau di bawah kolonialisme. Jadi udah tidak keren," tutur Bonnie.

Padahal, lanjut Bonnie, jika mengacu sejarah, pada 4.000 tahun lalu ada yang masuk ke Nusantara dari Yunnan, China.

"Masuk ke Indonesia dan kemudian sudah bermukim di kepulauan Nusantara. Jadi kalau dites DNA gitu, kita pasti punya sisi genetik dari Yunnan," ungkap Bonnie.

Atas dasar tersebut, dia meminta seluruh masyarakat tetap belajar sejarah untuk mengenal kebudayaan Indonesia sendiri.

"Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa dipecah belah oleh sentimen-sentimen yang sempit, bernada hasutan yang bersifat rasial," pungkas Bonnie. (flo/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler