Itu dari segi makanan yang dikonsumsi. Dari sisi waktu, ajaran puasa di dalam Islam sangat manusiawi. Tidak 24 jam penuh. Tapi dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sekitar 13 jam saja. Setelah tiba waktu berbuka atau maghrib, kita diperbolehkan kembali makan, minum, atau berhubungan suami istri.
Puasa di dalam Islam juga tidak merepotkan. Sebab, selama berpuasa tetap diperbolehkan melakukan aktivitas sehari-hari. Tidak ada larangan sama sekali. Bahkan justru sangat dianjurkan agar lebih produktif dan tetap memiliki etos kerja tinggi. Tidak boleh bermalas-malasan.
Inilah Islam. Agama yang mudah, bukan menyulitkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika sedang menjalankan ibadah haji, Rasulullah SAW memperhatikan ada sahabat beliau terlihat sangat capek, lemah, dan menderita. Maka beliau bertanya apa sebabnya. Ternyata, menurut cerita para sahabat lain, orang tersebut bernazar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Rasulullah lalu memberitahukan, ’’Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti dilakukan orang itu.’’ (HR Bukhari dan Muslim)
Bagaimana dengan orang bepergian jauh lagi melelahkan? Orang yang sudah tua? Apakah mereka tetap diwajibkan berpuasa? Di sini Islam kembali menunjukkan sisi humanisnya. Di dalam Islam ada konsep rukhshah atau dispensasi.
Allah SWT berfirman di dalam Alquran Surat Al Baqarah: 184:
’’Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) wajib membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.’’
Di ayat berikutnya, ayat 185, Allah kembali menegaskan bahwa ‘’Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Jadi kesimpulan ajaran Islam adalah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran (yuridullahu bikumul yusro, wa laa yuridu bikumul ’usra)
Aspek rukhshah ini tidak hanya terdapat di puasa, tapi juga dalam semua praktik ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi tidak memungkinkan. Bagi yang tidak kuat salat dengan berdiri, misalnya, dianjurkan salat sambil duduk. Bagi yang tidak kuat sambil duduk, dianjurkan salat rebahan.
Apakah boleh dispensasi ini dipergunakan? Bukan saja boleh, bahkan sangat dianjurkan. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
’’Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringanan-Nya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintah-Nya dilakukan.’’ (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.)
Dalam sebuah perjalanan jauh, Rasulullah SAW pernah melihat seorang sahabatnya tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW langsung menegaskan: ’’Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh).’’ (HR Ibn Hibban dari Jabir bin ’Abdillah RA)
Demikianlah Islam sebagai agama rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam menjalankan ajaran-Nya. Meski diberikan kemudahan, bukan berarti kita menggampangkan atau melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan.
Ada hikmah yang bisa dipetik dari ajaran puasa yang memudahkan ini. Kalau Allah saja tidak pernah mempersulit hamba-Nya, masak iya hamba-Nya mempersulit sesama. Mari mudahkan orang, jangan mempersulit. Gembirakan orang, jangan ditakut-takuti. (*)
Drs Suryadharma Ali MSi
(Menag RI-Ketum PPP)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalau Jelek Katakan Jelek
Redaktur : Tim Redaksi