Jangan Politisasi KJS

Sabtu, 01 Juni 2013 – 06:20 WIB
JAKARTA - Mundurnya beberapa rumah sakit dalam program Kartu Jakarta Sehat (KJS) menjadikan masalah ini menjadi liar. Bahkan opininya sudah menggelinding  ke arah politisasi setelah 27 orang anggota DPRD DKI berencana menggunakan hak interpelasinya terkait program yang diperuntukkan kepada masyarakat kurang mampu ini.

Pernyataan ini disampaikan Rommy, bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari Provinsi DKI Jakarta menyikapi kisruh KJS akhir-akhir ini. Kata dia, meskipun interpelasi itu hak parlemen, tapi penggunaannya dalam soal KJS jelas sumir, terburu-buru, mengada-ada, dan tidak perlu. Lagipula, masalah KJS ini kan bukan kategori kejadian luar biasa (KLB) KLB seperti dalam penanganan bencana.

Sejak pertama kali diluncurkan, sejumlah masalah memang terjadi terutama soal kesiapan rumah sakit yang terlibat program maupun mekanisme dan platform pembiayaannya.  “Bahwa program itu masih bersoal dan belum sempurna, itu betul. Wajarlah, namanya juga program baru, masih seumur jagung. Namun, soal teknis nggak harus ditanggapi secara politis, perbaiki saja teknisnya”, kata  Rommy dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu (1/6).

Dibandingkan dengan apa yang dialamatkan DPRD mengenai beberapa hal yang memicu kekisruhan, Program KJS ini lebih besar manfaatnya. Terbukti, tingkat kepuasan masyarakat terhadap program ini mencapai 80 persen. Jadi, menurut Rommy, wajar saja kalau ada yang mau mengembangkan masalah ini secara politis.

“Apalagi sebagian pihak mungkin masih mengalami “luka batin” pasca pilgub lalu.” Namun, harga dan risiko politik yang mungkin timbul pasti mahal. Warga Jakarta pasti akan bela Jokowi. Karena KJS kan program bagus dan dan harus ada karena merupakan hak dasar masyarakat yang secara konstitusional jadi tanggung jawab Negara”, kata Rommy.

Nuansa politis soal ini memang kentara. Jokowi sendiri bahkan dituding telah melakukan pencitraan politik oleh seorang anggota DPRD DKI Jakarta ketika membagi-bagikan Kartu Jakarta Sehat beberapa hari lalu. Menanggapi itu, Rommy sependapat dengan penjelasan Jokowi bahwa pembagian kartu itu sifatnya simbolis belaka.

“Saya kira Jokowi tidak berpikir begitu. Acara itu kan sama kayak presiden potong padi dalam peresmian masa panen raya. Presiden kan tidak lantas jadi sibuk potong padi dimana-mana. Jadi apa yang dilakukan Jokowi adalah hal biasa dan wajar saja dilakukan oleh seorang pimpinan.”. Tudingan itu, menurutnya, seperti ingin mengartikan  KJS sebagai "Kepengen Jokowi Salah".

Sejumlah persoalan yang melingkupi program ini memang perlu segera tuntas. Respon dari komisi E bahwa mereka tidak tahu apa itu sistem Indonesia Case Basic Groups (INA-CBG's) menandakan bahwa solusinya hanya bergantung pada komunikasi antara DPRD dan Pemprov DKI, seperti tentang penaikkan besaran premi, platform pembiayaan RS yang masih berbeda-beda, serta aturan paket pembiayaan premi yang memenuhi standard minimum pelayanan, namun di sisi lain tetap bisa menghemat pembiayaan.

Dalam hal ini, Pemprov DKI dan DPRD mestinya bisa saling sinergi sesuai posisi dan kewenangannya masing-masing. Rommy menilai kalau kedua pihak itu bisa “duduk manis”, pasti sangat membantu warga Jakarta. “KJS ini soal penting. Namun, hal ini nggak perlu membuat siapapun jadi  lebay.  Karena kalau saling gontok-gontokan terus, yang rugi adalah masyarakat.  Kita kan tak mau kebijakan bagus ini mati prematur di tengah jalan”, tandasnya. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pajak Kota Bogor Lenyap Rp12 miliar

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler