JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa penuntasan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa lalu harus dapat melepaskan Indonesia dari beban pelanggaran berat HAM. Karenanya kalau alat-alat bukti pelanggarannya masih cukup, maka mekanisme hukum harus diutamakan.
"Kalau bukti hukumnya tidak lagi mencukupi, maka penyelesaiannya harus mengutamakan kepentingan korban dengan cara kerelaan negara untuk memberikan ganti rugi atau kompensasi. Hanya dengan cara begitulah upaya-upaya melepaskan negara dari sandera pelanggaran berat HAM bisa dikurangi," kata Lukman dalam Dialog Pilar Negara, 'Pelanggaran Ham Masa Lalu dan Solusi Masa Kini' di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (30/7).
Karenanya politisi PPP itu mengusulkan agar pemerintah segera membentuk gugus tugas untuk menginventarisir semuan temuan Tim Pencari Fakta pelanggaran berat HAM yang sudah terjadi selama ini. Semula, kata Lukman, melalui Ketetapan MPR nomor V tahun 2000 yang ditindaklanjuti dengan Undang-Undang nomor 27 tahun 2004, penyelesaian pelanggaran HAM dilakukan melalui Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KRR).
"Tapi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam tahun 2006 secara keseluruhan membatalkan Undang-Undang nomor 27 tahun 2004 tersebut, sehingga kita tidak lagi mempunyai mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat," ungkap Lukman Hakim Saifuddin.
Selain itu dia juga menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) agar pemerintahan berikutnya tetap memroses penyelesaian pelanggaran HAM. "Dari sisi ketersediaan waktu, Presiden SBY tidak lagi mungkin menyelesaikan pelanggaran berat HAM. Tindakan yang paling optimal hanya mengeluarkan Perpres yang intinya agar pemerintahan berikutnya tetap memroses kasus pelanggaran Ham," tegasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Desak Pelanggaran HAM PRRI Dituntaskan
Redaktur : Tim Redaksi