Jangan Sampai Pemberantasan Korupsi di Pasar Modal Bermotif Menyingkirkan Pihak Tertentu

Rabu, 29 Desember 2021 – 04:57 WIB
Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Foto: Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung dinilai serampangan dalam proses penegakan hukum perkara Jiwasraya dan Asabri.

Penanganan perkara dugaan korupsi pada dua BUMN itu dianggap menakutkan bagi investor dan membuat pasar modal tidak lagi kondusif.

BACA JUGA: Kontras Anggap Hukuman Mati di Kasus Asabri tak Efektif

Langkah Kejaksaan Agung mengajukan tuntutan mati untuk para terdakwa perkara Asabri maupun Jiwasraya pun dituding sebagai aksi gagah-gagahan.

Menurut pakar hukum tata negara Margarito Kamis, penerapan hukuman mati tak terbukti bisa mengurangi tindak pidana kejahatan korupsi di Indonesia.

BACA JUGA: Katanya Jaksa Fokus Asset Recovery, kok Malah Tuntut Mati Terdakwa ASABRI?

“Di sepanjang sejarahnya enggak ada yang namanya hukuman mati lalu kejahatan jadi berkurang. Enggak sama sekali kok. Itu (tuntutan hukuman mati, red) buat gagah-gagahan doang ," kata Margarito kepada wartawan di Jakarta pada Jumat 10 Desember 2021.

Mantan anggota Panitia Seleksi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menyatakan persoalan besar dalam penegakan hukum ialah cara menerapkan hukum secara lurus.

BACA JUGA: Waduh, Proses Hukum Jiwasraya-Asabri Bikin Investor Asing Kabur dari Indonesia

Selain itu, penegakan hukum harus responsif, tidak boleh disertai diskriminasi, dan tanpa penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan bernegara.

Oleh karena itu, Margarito mengkritisi langkah kejaksaan mengajukan tuntutan hukuman mati.

“Tidak ada sejarahnya hukuman mati itu membuat kejahatan menjadi berkurang, malah dalam disertasinya Prof Sahetapy menyatakan bahwa hukuman mati itu tidak memberikan contoh," katanya.

Mantan staf khusus Kementerian Sekretaris Negara itu mencontohkan pidana mati bagi para pelaku kejahatan narkoba.

Menurutnya, kasus kejahatan narkoba masih saja terjadi.

"Jadi, hukuman mati di Indonesia ini cuma untuk gagah-gagahan doang. Banyak pengedar narkotika yang dihukum mati, tetapi apakah kemudian jumlahnya berkurang? Ternyata tidak!" kata dia.

Margarito juga menyatakan menegaskan persoalan paling pokok dalam penegakan hukum ialah tidak boleh ada diskriminasi.

"Equality before the law untuk semua aspek, itu yang paling penting! Bukan hukuman matinya, itu yang paling pokok," ucapnya.

Terkait dengan pemiskinan koruptor, Margarito mengatakan jika orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi ternyata tidak melakukan hal yang dituduhkan, pertanyaan selanjutnya ialah siapa yang harus dimiskinkan.

”Bukan soal pidana pemiskinannya, namun by law, hukum bilang apa? Kalau orang itu ternyata tidak bersalah, tetapi penegakan hukumnya yang salah, lalu dimiskinkan buat apa?" kata Margarito.

Oleh karena itu Margarito menegaskan hukum harus bersifat fair atau adil pada siapa pun.

Menurutnya, pemiskinan bukan solusi yang tepat jika orang tersebut tidak bersalah.

"Kita mesti fair, enggak bisa konsep pemiskinan itu diterapkan secara serampangan. Jangan-jangan konsep (hukuman mati) itu dipakai untuk menghabisi orang tertentu,” katanya.

Margarito justru mengkhawatirkan penegakan hukum yang diskriminatif.

“Kita harus fair. Kalau tidak, apa pun yang dilakukan dengan mengatasnamakan penegakan hukum akan rusak," ujarnya. (mrk/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Fais

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler